POKOK-POKOK KESESATAN AQIDAH SYIAH
POKOK-POKOK KESESATAN AQIDAH SYIAH
Syiah dikenal dengan sebutan Rafidhah karena mereka menolak mengakui khilafah Abu Bakar Radhiyallahu anhu dan ‘Umar Radhiyallahu anhu bin Khaththab dan penolakan mereka atas sanjungan Zaid bin ‘Ali bin Husain terhadap dua orang terbaik umat itu. Mereka menyikapi jawaban Zaid bin Ali bin Husain dengan , “Rafadhnaka” yang artinya kami menolak jawabanmu. Akhirnya mereka dikenal dengan nama Rafidhah. Rafidhah adalah salah satu sekte Syiah, dan memiliki banyak nama diantaranya al-Itsna ‘Asyariyah, Ja’fariyyah, Imamiyyah dan nama yang lainnya, akan tetapi hakikatnya sama. Apabila pada zaman ini disebutkan kata Syiah secara mutlak, maka tidak lain yang dimaksudkan adalah Rafidhah.
Rafidhah memiliki keyakinan-keyakinan yang sangat bertentangan dengan Islam yang mereka jadikan sebagai dasar agama mereka.
Di antara kerusakan keyakinan mereka adalah:
1. Al-Qur`ân yang dijamin keutuhan dan keasliannya oleh Allâh Azza wa Jalla telah banyak berkurang dan mengalami banyak perubahan. Bahkan menurut mereka, al-Qur`ân hanya sepertiga dari al-Qur`ân yang dipegang ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu yang mereka sebut dengan Mushaf Fâthimah yang turun temurun dibawa oleh para imam dan sekarang dibawa oleh Imam al-Muntazhar (imam yang mereka tunggu kedatangannya)?!!
2. Al-Qur`ân tidak bisa dipahami kecuali dengan penafsiran para imam dua belas.
3. Mereka melakukan ta’thîl (meniadakan) nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla sehingga dalam konteks ini mereka termasuk kaum Jahmiyyah
4. Iman dalam pandangan mereka adalah mengenal dan mencintai para imam
5. Mereka menafikan takdir sehingga mereka termasuk golongan Qadariyyah (kelompok yang tidak mengimani takdir)
6. Mereka meyakini Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepada ‘Ali untuk menggantikannya sebagai khalifah sepeninggalnya.
7. Pengkafiran terhadap para Sahabat Nabi dan keyakinan bahwa para Sahabat Nabi telah murtad kecuali hanya beberapa orang saja dari mereka
Tentang keyakinan ini, Imam Abu Zur’ah rahimahullah berkomentar untuk mendudukkan tujuan utama yang mereka bidik melalui pengkafiran umum terhadap Sahabat Nabi Radhiyallahu anhum : “Sesungguhnya tujuan mereka mencela para Sahabat Radhiyallahu anhum adalah untuk mendongkel al-Qur`ân dan Sunnah. Kalau pembawa dan penyampai agama ini adalah orang-orang yang murtad, bagaimana kita menerima apa yang mereka sampaikan. (Inilah tujuan mereka, red).
Allâh Azza wa Jalla berfirman: يُرِيْدُوْنَ لِيُطْفِـُٔوْا نُوْرَ اللّٰهِ بِاَفْوَاهِهِمْۗ وَاللّٰهُ مُتِمُّ نُوْرِهٖ وَلَوْ كَرِهَ الْكٰفِرُوْنَ
Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci [ash-Shaff/61:8]. Barangsiapa memiliki anggapan bahwa para Sahabat Radhiyallahu anhum telah murtad kecuali hanya beberapa yang hanya mencapai belasan orang saja atau kebanyakan merupakan orang-orang fasik setelah meninggalnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka tidak diragukan lagi akan kekufurannya karena telah mendustakan ayat-ayat al-Qur`ân yang menjelaskan keridhaan dan pujian Allâh Azza wa Jalla terhadap para Sahabat. Siapakah yang meragukan kekufuran keyakinan seperti ini?! Kekufuran orang yang meyakininya sudah pasti. Sesungguhnya anggapan ini juga mengharuskan bahwa penyampai al-Qur`ân dan Sunnah adalah orang-orang kafir dan fasik. (Berdasarkan keyakinan mereka yang rusak itu), firman Allâh berikut :
كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia [Ali ‘Imrân/3:110]
Memberikan makna bahwa umat yang terbaik dan generasi pertama umat adalah orang-orang kafir dan fasik yang berarti bahwa umat ini adalah sejelek-jelek umat dan yang terjelek adalah generasi awalnya. Kekufuran keyakinan seperti ini sangat nyata dalam Islam”. [1]
8. Para imam dua belas mendapatkan wahyu dari Allâh Azza wa Jalla, sehingga kaum Syiah mendefinisikan Sunnah dengan istilah segala yang berasal dari orang ma’shûm (yang terjaga dari dosa dan kesalahan) baik berupa perkataan, perbuatan, ataupun taqrîr (pembenaran). Menurut mereka, hanya ‘Ali bin Abi Thâlib yang menguasai Sunnah-sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
9. Imâmah (kepemimpinan) kaum Muslimin hanya dipegang oleh Imam Dua Belas. Mereka mencela dan tidak mengakui khilafah Abu Bakar Radhiyallahu anhu dan ‘Umar Radhiyallahu anhu. Tentang keyakinan ini, Imam Syafi’i berkata, “Barangsiapa tidak mengakui khilafah (kepemimpinan) Abu Bakar Radhiyallahu anhu dan ‘Umar Radhiyallahu anhu, dia adalah seorang rafidhi“.
10.Para imam memiliki sifat ma’shûm, terjaga dari kesalahan mereka, tidak pernah lupa dan selalu mengetahui apa yang terjadi dan yang akan terjadi.
11.Para imam tidak akan mati kecuali dengan keinginan mereka.
12.Para imam akan bangkit dari kubur apabila mereka menghendaki, untuk menjumpai sebagian manusia. Keyakinan ini mereka sebut dengan akidah zhuhûr
13.Para imam dan wali lebih mulia daripada para nabi dan rasul.
14.Para imam akan kembali ke dunia setelah kematian mereka demikian pula Ahlussunnah. Mereka kemudian akan membalas para Sahabat, menyalib Abu Bakar Radhiyallahu anhu dan ‘Umar Radhiyallahu anhu dan menegakkan hukuman zina terhadap ‘Aisyah Radhiyallahu anha – semoga Allâh Azza wa Jalla menghancurkan mereka-. Keyakinan ini mereka sebut dengan akidah ar-raj’ah
15.Kuburan para imam adalah tempat-tempat suci.
16.Keyakinan bada’ yaitu terkuaknya sesuatu bagi Allâh Azza wa Jalla setelah sebelumnya tersembunyi sehingga menyebabkan Allâh Azza wa Jalla menarik perkataan yang telah difirmankan atau perbuatan yang dilakukan. Maha suci Allâh Azza wa Jalla atas apa yang mereka katakan
17.Mereka berkeyakinan orang-orang di luar mereka adalah kafir, sama sekali tidak berhak untuk masuk surga
18.Mereka berkeyakinan bahwa seluruh kebaikan yang dilakukan oleh Ahlussunah akan diberikan untuk Syiah dan dosa-dosa Syiah akan dibebankan kepada Ahlussunnah. Ini yang mereka sebut dengan istilah ath-thînah
19.Kewajiban melakukan taqiyah, yaitu seorang penganut agama Syiah berkata dengan perkataan yang berbeda dengan apa yang dia yakini, atau menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang ada pada hatinya. Keyakinan taqiyah ini merupakan satu kewajiban bagi para penganut Syiah. Oleh karena itu, penganut Syiah mengerjakan shalat di belakang Ahlussunnah dalam rangka taqiyah (melindungi diri) dan pujian-pujian para imam mereka terhadap para Sahabat dilakukan dalam rangka menjalankan taqiyah
20.Imam yang kedua belas, Muhammad bin Hasan al-‘Asykari telah memasuki salah satu gua di daerah Samira tahun 260 H pada saat masih kecil. Ia telah menjadi seorang imam sejak kematian ayahnya sampai hari ini. Padahal fakta menyatakan bahwa Hasan al-Askari meninggal dalam keadaan mandul, tidak memiliki anak.
21.Halalnya darah dan kehormatan Ahlussunnah. Menurut mereka, boleh menggunjing, mencela bahkan melaknat Ahlussunnah.
22.Menghalalkan nikah mut’ah (kawin kontrak). Bahkan menurut mereka nikah mut’ah lebih utama daripada menjalankan shalat, puasa, dan haji.
{ Baca Juga Syi'ah : Apa Keyakinan Orang Rafidhah Tentang Nikah Mut'ah ? Dan Apa Keutamaannya Menurut Mereka ? }
Renungan
Setelah penyampaian keyakinan Syiah secara global ini, Syaikh Dr. Muhammad Musa Alu Nashr hafizhahullâh mengatakan: “Setelah pemaparan semua ini, bolehkan kita katakan bahwa Syiah adalah saudara-saudara kita atau mengatakan bahwa mereka adalah ahli tauhid?![2]. Mustahil, kalau keyakinan-keyakinan ini hanya sebuah aliran saja. Akan tetapi, itu merupakan sebuah agama tersendiri (Syiah). Syiah adalah sebuah agama. Dan agama Ahlussunnah adalah risalah yang dibawa oleh utusan Penguasa alam semesta, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Akidah mereka yang sesat ini tertulis di dalam kitab-kitab para agamawan mereka dan tidak perlu kita nukilkan omongan-omongan mereka karena hanya akan menyesakkan dada dan mengeruhkan pikiran. Orang-orang yang masih memiliki akal sehat dan pikiran yang lurus akan enggan mendengarkannya, apalagi sampai mau mengikuti mereka. Allâh Azza wa Jalla telah mendatangkan dari kalangan Ahlussunnah, orang-orang (ulama) yang mematahkan syubhat mereka, menguliti kegelapan akidah mereka, menguak kesesatan dan kebodohan mereka, membantah kedustaan mereka, menjelaskan pengkaburan dan penipuan yang mereka lakukan, membuka kedok kepalsuan dan penyimpangan mereka, membersikan nama para sahabat Rasulullah dari kedustaan dan celaan- celaan yang mereka lancarkan…
‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu berkata:
لِيُحِبُّنِيْ رِجَالٌ يُدْخِلُهُمُ اللهُ بِحُبِّيْ النَّارَ وَيُبْغِضُنِيْ رِجَالٌ يُدْخِلُهُمُ اللهُ بِبُغْضِيْ النَّارَ
Sungguh akan ada orang-orang yang dimasukan oleh Allâh ke dalam neraka karena kecintaan mereka kepadaku. Dan sungguh akan ada orang-orang yang dimasukkan oleh Allâh ke dalam neraka karena kebencian mereka kepadaku [3]
(Diringkas dari al-Intishâr bi Syarhi ‘Aqîdati Aimmatil Amshâr, disyarah oleh Syaikh Dr. Muhammad bin Musâ Alu Nashr, ad-Darul Atsariyyah, Aman, Yordania, Cet. I Th. 2008, hlm. 341-348)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIV/1431H/2010M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.
Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961,
Redaksi 08122589079]
Footnote
[1] Ash-Shârimul Maslûl hlm. 586-587
[2] Syaikh Dr mengatakan, “Akan tetapi, kita tidak boleh mengkafirkan kalangan awam mereka. Vonis pengkafiran ini terarah kepada para pemakai imamah (agamawan mereka), tokoh-tokoh yang menggiring orang-orang yang buta. Mereka ini lebih sesat dan lebih celaka. Sebab mengetahui (kebenaran), namun menyelewengkannya”. al-Intishâr bi Syarhi ‘Aqîdati Aimmatil Amshâr, hlm. 344
[3] Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abi ‘Ashim no 983, ‘Abdullâh no. 1344, al-Ajurri no. 2087
Referensi: https://almanhaj.or.id/3630-pokok-pokok-kesesatan-aqidah-syiah.html
=========================================================================
Syi’ah:
Apa Keyakinan Orang Rafidhah Tentang Nikah Mut’ah ? Dan Apa Keutamaannya Menurut Mereka ?
APA KEYAKINAN ORANG RAFIDHAH TENTANG NIKAH MUT’AH ? DAN APA KEUTAMAANNYA MENURUT MEREKA ?-9/13-
Disusun oleh Abdullah bin Muhammad As Salafi.
Nikah mut’ah mempunyai keutamaan yang agung sekali di sisi orang Rafidhah -Al’iyaadzu billah-. Tercantum dalam kitab Manhaj As Shodiqin karangan Fathullah Al Kaasyaani dari As Shodiq (menerangkan) bahwasanya nikah mut’ah itu adalah dari ajaran agamaku dan agama bapak-bapakku, dan orang yang melaksanakannya berarti dia mengerjakan ajaran agama kita, dan orang yang mengingkarinya berarti dia mengingkari ajaran agama kita, bahkan ia memeluk agama lain dari agama kita. Dan anak (hasil) nikah mut’ah lebih mulia dari anak istri yang tetap. Orang yang mengingkari nikah mut’ah adalah kafir murtad. [1] Al Qummi menukilkan di dalam kitab Man Laa Yahduruhu Al Faqiih dari Abdulah bin Sinan dari Abi Abdillah, ia berkata : Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala telah mengharamkan atas golongan kita setiap yang memabukkan dari sertiap minuman, dan telah mengganti mereka dari hal itu dengan nikah mut’ah.[2]. Orang Rafidhah tidak pernah menyaratkan (membatasi) bilangan tertentu dalam nikah mut’ah. Tercantum dalam kitab Furuu Al Kafi dan At Tahdziib dan Al Istibshoor dari Zaraarah, dari Abi Abdillah, ia berkata : Saya telah menyebutkan kepadanya akan nikah mut’ah apakah nikah mut’ah itu (terjadi) dari empat (yang dibolehkan), ia berkata : nikahilah dari mereka-mereka (para wanita) seribu, sesungguhnya mereka-mereka itu adalah wanita yang disewa (dikontrak). Dan dari Muhammad bin Muslim dari Abi Ja’far sesungguhnya ia berkata tentang nikah mut’ah : Bukan nikah mut’ah itu (dilakukan) dari empat (istri yang dibolehkan), karena ia (nikah mut’ah) tidak ada talak, tidak mendapat warisan, akan tetapi ia itu hanyalah sewaan.[3].
Bagaimana mungkin ini, padahal Allah telah berfirman :
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ﴿٥﴾إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ ﴿٦﴾فَمَنِ ابْتَغَىٰ وَرَاءَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْعَادُونَ
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. [Al Mukminun/23 : 5-7]
Maka jelaslah dari ayat yang mulia ini bahwa sesungguhnya apa yang dihalalkan dari nikah adalah istri dan budak perempuan yang dimiliki, dan diharamkan apa yang lebih dari (selain) itu. Wanita yang dimut’ah adalah wanita sewaan, maka ia bukanlah istri (yang sah), dan ia tidak bisa mendapatkan warisan dan tidak bisa ditalak, jadi dia itu adalah pelacur / wanita pezina -waliyaadzubillah-. Syeikh Abdullah bin Jibriin berkata : Orang Rafidhah berdalih dalam menghalalkan nikah mut’ah dengan ayat di surat An Nisaa yaitu firman Allah :
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۖ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ ۚ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban. [An Nisa/4 : 24]
Jawab : Sesungguhnya ayat ini semuanya dalam masalah nikah; dari firman Allah ayat 19 di surat An Nisa sampai 23, setelah Allah menyebutkan wanita-wanita yang haram dinikahi karena nasab dan sebab, kemudian Allah berfirman : Artinya : Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian. Maksudnya dihalalkan bagimu menikahi selain wanita-wanita (yang disebutkan tadi) bila kamu menikahi mereka untuk bersenang-senang yaitu bersetubuh yang halal, maka berikanlah mahar mereka yang telah kamu wajibkan untuk mereka, dan jika mereka mengugurkan sesuatu dari mahar-mahar itu berdasarkan dari jiwa yang baik (keridhoan hati), maka tidak mengapa atas kamu dalam hal itu. Beginilah ayat ini ditafsirkan oleh jumhur (mayoritas) sahabat dan orang-orang setelah mereka [4].
Dan Syi'ah Bahkan di sisi (menurut) orang Rafidhah perkaranya telah sampai menghalalkan menyetubuhi wanita di lubang anusnya. Tercantum dalam kitab Al Istibshoor dari Ali bin Al Hakam ia berkata : Saya telah mendengar Shofwan berkata : Saya telah berkata kepada Al Ridha : Sesungguhnya seorang laki-laki dari budak-budakmu memerintahkan saya untuk menanyakan kepadamu akan suatu masalah, maka dia takut dan malu kepadamu untuk menanyakanmu, ia berkata : apa itu? Ia berkata : Apakah boleh bagi laki-laki untuk menyetubuhi wanita (istrinya) di lubang anusnya? Ia menjawab : Ya, hal itu boleh baginya.[5].
[Disalin dari kitab Diantara Aqidah Syi’ah, Disusun oleh Abdullah bin Muhammad As Salafi, Diterjemahkan oleh Abu Abdillah Muhammad Elvi Syam, Lc.] ________
Footnote
[1]. Manhaj As Shodiqiin, karangan Mulla Fathullah al Kasyaani, hal : 356.
[2]. Man Laa Yahduruhu Al Faqiih, hal : 330.
[3]. Al Furuu min Al Kafii, (2/43), dan kitab At Tahdziib (2/188).
[4]. Dari perkataan Syeikh Ibnu Jibrin semoga Allah mengangkat darajatnya, adapun dalil dari Sunnah dalam mengharamkan nikah mut’ah adalah hadits Ar Rafi bin Sirah Al Juhani, sesungguhnya bapaknya menceritakan kepadanya bahwa sesungguhnya ia (bapaknya) bersama rasulullah, maka beliau bersabda : wahai Manusia sesungguhnya saya pernah mengizinkan untuk kalian bersenang-senang dengan perempuan (nikah mut’ah), dan sesungguhnya Allah sungguh telah mengharamkan hal itu (nikah mut’ah) sampai hari Kiamat, barangsiapa yagn memiliki seseorang wanita darinya maka hendaklah ia melepaskannya, dan janganlah kalian mengambil sedikitpun dari apa yang telah kalian berikan kepadanya.(H.R. Muslim no : 1406). [5]. Al Istibshoor, (3/243).
Referensi: https://almanhaj.or.id/516-syiah-apa-keyakinan-orang-rafidhah-tentang-nikah-mutah-dan-apa-keutamaannya-menurut-mereka.html
Komentar
Posting Komentar