MENGAPA AKIDAH SALAF KOKOH DAN SELAMAT ( 1 )
MENGAPA AKIDAH SALAF KOKOH DAN SELAMAT?
Oleh
Syaikh Prof.Dr.Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al-Badr
Setelah memperhatikan perkataan para ahli ilmu mengenai masalah agung ini,
bisa kita simpulkan banyak sebab yang membuat akidah ini kokoh dalam diri
orang yang memegangnya, dan membuat
akidah ini terus langgeng dan selamat dari perubahan dan penyelewengan. Kami
ringkaskan di sini dalam point-point berikut:
1. Para pemegang akidah ini berpegang teguh dengan Kitab Allâh dan Sunnah
Rasûl-Nya
Mereka berpegang teguh dengan Kitab Allâh dan Sunnah Rasûl-Nya serta
mengimani semua yang datang dalam Kitab Allâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam . Mereka juga benar-benar meyakini bahwa tidak boleh
meninggalkan sesuatupun dari apa yang datang dalam al-Kitab dan as-Sunnah. Dan
memang wajib atas setiap Muslim untuk mengimani dan membenarkan semua yang
datang dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Sehingga mereka mengimani semua nash yang termuat di dalamnya, misalnya nash
yang berisi berita tentang Allâh, asma’ dan sifat-Nya; para nabi-Nya, hari
akhir, taqdir dan lainnya. Mereka mengimaninya, baik secara global maupun
terperinci. Iman secara global terhadap semua yang Allâh Azza wa Jalla
beritakan berupa perkara-perkara iman. Iman secara terperinci terhadap semua
yang telah sampai ilmunya kepada mereka dalam Kitab Allâh dan Sunnah Nabi-Nya.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ
وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada
Allâh dan Rasûl-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu. [Al-Hujurat/49:15]
Beginilah
sikap mereka terhadap semua nash al-Kitab dan as-Sunnah. Mereka menerima dan
mengimani semuanya. Sikap mereka adalah seperti yang dikatakan sebagian kaum
salaf, “Dari Allâh Azza wa Jalla datangnya risalah; kewajiban Rasûl adalah
menyampaikannya; sedangkan kewajiban kita adalah menerimanya.”
Barangsiapa
yang berpegang teguh terhadap Kitab Allâh dan Sunnah Nabi-Nya, dengan
berpedoman dan berlandaskan pada keduanya, maka keselamatan, istiqâmah dan jauh
dari penyelewengan akan menyertainya atas izin Allâh Azza wa Jalla.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Inti yang membedakan antara
kebenaran dan kebatilan; antara petunjuk dan kesesatan, jalan kebahagiaan dan
keselamatan dengan jalan kecelakaan dan kebinasaan, adalah dengan menjadikan
apa yang dibawa oleh para Rasûl-Nya sebagai kebenaran yang wajib untuk diikuti.
Dengannya terwujud pembeda (antara yang hak dan batil), petunjuk, ilmu dan
iman. Sehingga ia percaya bahwa itulah al-haq dan kebenaran. Adapun selainnya
berupa perkataan seluruh manusia, maka harus ditimbang pada kebenaran tersebut.
Jika perkataan itu sesuai dengannya, maka itu benar, namun bila menyelisihinya,
maka itu batil. Adapun jika tidak diketahui, apakah itu sesuai dengan kebenaran
(yang datang dari Allâh dan Rasûl-Nya) atau tidak, (misalnya-red) karena ucapan
tersebut masih bersifat global, sehingga tidak diketahui maksud pemilik ucapan
tersebut; atau telah diketahui maksudnya, akan tetapi tidak diketahui apakah
(ajaran) Rasûl membenarkannya atau tidak, maka (dalam kondisi seperti ini-red)
kita harus menahan diri. Seseorang tidak boleh berbicara kecuali dengan dasar
ilmu. Sedangkan ilmu adalah apa yang ditopang oleh dalil; dan ilmu yang
bermanfaat adalah ilmu yang dibawa oleh Rasûl Shallallahu ‘alaihi wa sallam
.”[1]
Inilah inti
sari jalan yang ditempuh Ahlussunnah wal Jamaah dalam masalah yang agung ini
–semoga Allâh merahmati mereka-. Mereka
berpedoman pada al-Kitab dan as-Sunnah. Dengan berpedoman seperti ini, mereka
berhasil mendapatkan keselamatan dan kekokohan akidah.
Syaikhul
Islam t sering mengatakan, “Barangsiapa yang memisahkan diri dari dalil, ia
akan sesat jalan. Dan tidak ada dalil kecuali apa yang dibawa oleh Rasûl
Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”[2]
Ibnu Abil
`Izz dalam Syarah al-`Aqîdah Ath-Thahâwiyyah berkata, “Bagaimana mungkin bisa
sampai pada ilmu ushul (ilmu prinsip-prinsip agama) tanpa (berpedoman) pada apa
yang dibawa oleh Rasûl Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”[3]
Jadi, sikap
Ahlussunnah yang berpedoman pada ajaran yang terkandung dalam Kitabullah dan
Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam , merupakan sebab utama kekokohan
akidah mereka. Tak ada seorangpun dari Ahlussunnah wal Jamaah –semoga Allâh
merahmati mereka- yang merumuskan suatu keyakinan dari dirinya sendiri; atau
mendatangkan suatu keyakinan atau agama dari pendapat, perasaan dan pikirannya.
Yang biasa melakukan perbuatan seperti itu adalah para pengikut hawa nafsu.
Oleh karena itu akidah para pengikut nafsu itu kropos alias tidak kokoh; dan
sering terjadi ketidakkonsistenan di tengah mereka, sebagaimana akan dijelaskan
nanti insya Allâh Azza wa Jalla .
Adapun
ahlussunnah, tak ada seorangpun dari mereka yang menggagas suatu keyakinan dari
diri mereka sendiri. Bahkan mereka semua berpedoman dan bersandar pada Kitab
Allâh Azza wa Jalla dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Di sini
akan kami nukilkan ungkapan yang sangat indah dari Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah. Beliau rahimahullah berkata, “Keyakinan (i’tiqad dalam
akidah) bukanlah dariku, bukan pula dari orang yang lebih senior dariku,[4] akan
tetapi keyakinan itu diambil dari Allâh
Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Dan apa yang telah menjadi kesepakatan para
salaf (pendahulu) umat ini, diambil dari Kitabullah dan dari hadits-hadits
riwayat al-Bukhâri, Muslim dan lainnya; berupa hadits-hadits yang telah dikenal
dan yang valid dari salaf umat ini.”[5]
Syaikhul
Islam juga berkata, “Keyakinan asy-Syâfi’i rahimahullah , dan keyakinan para
salaf umat ini; seperti imam Mâlik, ats-Tsauri, al-Auza’i, Ibnul Mubârak, Ahmad
bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah, yang itu juga keyakinan para masyâyikh yang
menjadi panutan seperti al-Fudhail bin Iyâdh, Abu Sulaiman ad-Dârâni, Sahl bin
Abdillah at-Tustari dan selain mereka; sesungguhnya tidak ada pertentangan di
antara para imam tersebut dan para Ulama semisal mereka dalam hal
prinsip-prinsip agama. Demikian pula Abu Hanifah rahimahullah . Sesungguhnya
keyakinan yang valid dari Abu Hanifah dalam masalah tauhid, takdir dan
semacamnya, sesuai dengan keyakinan para ulama tersebut. Dan keyakinan para
ulama tersebut, itulah keyakinan yang dipegang oleh kalangan sahabat dan tabiin
yang mengikuti jejak sahabat dengan bijak. Dan itulah yang dikatakan dalam
Al-Kitab dan As-Sunnah.”[6]
Jadi, ini
adalah prinsip dasar pertama atau point pertama dari sebab-sebab kokohnya akidah
ini dalam diri para pemegangnya; yaitu berpedoman pada al-Kitab dan as-Sunnah.
Tanpa berpedoman pada keduanya, tak ada jalan menuju kokohnya akidah. Tanpa
itu, tak ada jalan menuju keselamatan dan keistiqamahan.
2. Para
Ulama Salaf Meyakini Kitabullah dan as-Sunnah mengandung Akidah yang haq dan
Sempurna.
Mereka
meyakini bahwa keduanya mengandung akidah yang haq tak ada kekurangan sama
sekali dari semua sudut pandang. Sungguh, akidah yang haq sudah sangat jelas
dan tanpak terang benderang dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam , sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
Pada hari
ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu
yaitu telah
sempurna dalam hal akidah, ibadah dan perilaku. Lanjutan ayatnya:
وَأَتْمَمْتُ
عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu. [Al-Mâ’idah /5:3]
Telah
dijelaskan dalam al-Quran dan as-Sunnah semua hal yang dibutuhkan manusia, baik
yang terkait dengan masalah i’tiqad (keyakinan), ibadah, juga mu’amalah (tata cara berinteraksi antar
sesama), akhlak dan suluk. Dalam hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam disebutkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّهُ
لَمْ يَكُنْ نَبِىٌّ قَبْلِى إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ
عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ
Tidak ada
nabi sebelumku melainkan menjadi kewajiban atasnya untuk menunjukkan kebaikan
yang ia ketahui kepada umatnya, dan memberi peringatan tentang keburukan yang
ia ketahui kepada mereka. [HR. Muslim]
Ketika
Ahlussunnah mengimaninya secara sempurna dan mereka benar-benar merasa puas
bahwa agama mereka, baik yang terkait akidah, ibadah maupun suluk; itu semua
telah dijelaskan dengan sangat gamblang dalam al-Quran dan as-Sunnah, maka
mereka memegang teguh itu secara konsekuen dan mereka landaskan segala
sesuatunya pada apa yang datang dalam al-Quran dan as-Sunnah secara sempurna.
Dalam masalah ini, mereka tidak perlu merujuk kepada selain yang terkandung
dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka
tegar secara totalitas di atas Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam . Dengan ini terwujudlah bagi mereka keselamatan yang
sempurna.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah menjelaskan semua urusan agama ini; baik dalam
ushul (pokok) maupun furu’nya
(cabang-cabang); baik yang batin (amalan yang terkait hati) maupun lahiriyahnya
(terkait amalan yang tampak); baik terkit ilmu maupun pengamalannya. Sungguh,
prinsip ini adalah dasar dari semua prinsip ilmu dan iman. Semakin kuat
seseorang berpegang dengan prinsip ini, maka semakin berhak dan layak untuk
berada dalam kebenaran, baik secara keilmuan maupun penerapannya.”[7]
Yang
dimaksud dengan prinsip dasar tersebut adalah berpedoman dan berlandaskan
secara sempurna pada Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa
sallam . Karena dalam al-Quran dan as-Sunnah telah dijelaskan semua urusan
agama, baik dalam bidang akidah, ibadah maupun perilaku (suluk).
Di dalam
keduanya telah dijelaskan perkara-perkara rinci
yang dianggap remeh terkait adab, seperti adab buang hajat, adab
bersuci, adab bermuamalah (berinteraksi antar sesama) dan yang lainnya. Jika
masalah-masalah rinci yang terlihat ringan ini dijelaskan dalam al-Quran dan
as-Sunnah, lalu apakah mungkin masalah terkait akidah ditinggalkan begitu saja
tanpa dijelaskan?!
Ini hal
yang mustahil, seperti dinyatakan oleh Imam Darul Hijrah, Mâlik rahimahullah ,
“Mustahil, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan untuk umat ini
segala perkara termasuk masalah buang hajat, sedangkan masalah tauhid tidak
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam jelaskan kepada mereka!”
Jadi, dalam
al-Quran dan as-Sunnah terkandung semua kebaikan, terkandung semua petunjuk,
kebenaran, baik dalam hal akidah, ibadah, muamalah maupun akhlak. Dan kadar
keselamatan dan keistiqamahan yang diraih oleh seseorang tergantung pada kadar
komitmennya untuk berpedoman dan berpegang pada Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam . Imam Mâlik rahimahullah , “Sunnah adalah bahtera Nabi Nuh.
Barangsiapa menaikinya, maka ia selamat. Dan barangsiapa meninggalkannya, pasti
ia akan tenggelam.”
3.
Mengembalikan Segala Perbedaan dan Perselisihan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah
Di antara
sebab kokohnya akidah dalam diri para pemegangnya adalah bila terjadi
perselisihan atau perbedaan atau semacamnya, mereka tidak murujuk pada apapun,
selain pada Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka
yakin seyakin-yakinnya, bahwa perselisihan, perbedaan atau yang semacamnya,
tidak akan bisa dipecahkan dan ditunntaskan problemnya kecuali dengan
bersandarkan pada Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam
, sebagaimana yang Allâh firmankan:
فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ
تَأْوِيلًا
Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allâh (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allâh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. [An-Nisa’/4:59]
Dan tidak
diragukan lagi bahwa orang yang senantiasa berpegang atau bersandar pada
kitabullah dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua
permasalahan yang diperselisihkan diantara manusia, maka kekokohan dan
keselamatan akan selalu menyertainya, tidak terombang-ambing. Dan sebagaimana
sudah diketahui bersama, bahwa setiap perselisihan atau perbedaan yang terjadi
diantara manusia, sering tidak ada solusi dan pemecahannya kecuali dengan
bersandar pada Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Karena pendapat dan akal manusia berbeda-beda, sebagaimana cara pandang mereka
juga sering berlawanan. Maka tidak ada cara untuk menyelesaikan perselisihan
dan keluar dari pertentangan, kecuali bila semua pihak secara tulus dan rela
kembali kepada Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Ini adalah salah satu sebab utama di antara sebab-sebab tegarnya ahlul haq di
atas kebenaran.
4.Fitrah
Mereka Terjaga
Fitrah
adalah nikmat dan anugerah dari Allâh Azza wa Jalla kepada para hamba-Nya.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah berkenan memberi anugerah kepada mereka dengan
menciptakan mereka semuanya di atas fitrah, sebagaimana sabda Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
كُلُّ
مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ
يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Setiap anak
dilahirkan di atas fitrah. Maka dua orangtuanyalah yang membuatnya menjadi
yahudi, nasrani atau majusi. [HR. Al-Bukhâri, no. 1385]
Allâh Azza
wa Jalla menciptakan mereka di atas fitrah. Dan fitrah Ahlussunnah akan terus
bersih, tidak berubah. Allâh Azza wa Jalla menjaga fitrah mereka sehingga tidak
berubah, tidak berganti atau menyimpang. Sedangkan manusia lainnya, fitrah
mereka telah terkontaminasi, telah terjamah oleh penyimpangan, dengan kadar yang bervariasi, ada yang
sedikit ada pula yang banyak.
Dalam
hadits qudsi Allâh Azza wa Jalla berfirman:
خَلَقْتُ
عِبَادِى حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ
فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ
Aku telah
menciptakan para hamba-Ku dalam keadaan lurus semuanya (dalam keadaan muslim;
atau siap menerima hidayah-Nya). Dan sesungguhnya syaitan pun mendatangi mereka
hingga syaitan pun menggodanya dan memalingkannya dari agama mereka. [HR. Muslim, no. 2365]
Dan dalam
al-Quran, Allâh Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
وَإِنَّهُمْ
لَيَصُدُّونَهُمْ عَنِ السَّبِيلِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ مُهْتَدُونَ
Dan
sesungguhnya syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang
benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk. [Az-Zukhruf /43:37]
Jadi,
syaitan dan bala tentaranya memalingkan dan membelokkan manusia dari fitrah
mereka.
Karena
itulah, di antara sebab kokohnya akidah ini adalah berusaha sungguh-sungguh
menjaga fitrah diri. Allâh Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
فَأَقِمْ
وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ
عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ
أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
(Tetaplah
atas) fitrah Allâh yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allâh. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui. [Ar-Rûm/30:30]
Perlu
diketahui, bahwa keselamatan fitrah seseorang itu terkait erat dengan
selamatnya nara sumber (rujukannya). Bila pemilik fitrah yang bersih ini
bersandar dan berlandaskan pada Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam , maka fitrahnya pun tidak berubah. Namun bila ia menyerahkan
fitrahnya pada hawa nafsu yang membinasakan, syubhat yang merusak, dan
pendapat-pendapat yang menyeleweng serta merekayasa fitrah hingga jauh dari
asalnya, maka fitrahnya pun akan melenceng.
5.Akal
Mereka Lurus
Ahlussunnah
wal Jamaah adalah orang yang paling bagus akalnya; Pendapat, pikiran, dan
manhajnya paling selamat. Mereka mempunyai akal yang unggul nan cemerlang.
Mereka tidak melebih-lebihkan, tidak pula menyepelekan akal manusia, tidak
seperti pengikut hawa nafsu dan bid’ah.
Di kalangan
Ahlussunnah, tidak ada unsur berlebihan (ekstrim) dalam memposisikan akal
mereka seperti yang tampak jelas di kalangan ahli kalam dan falsafah serta
orang-orang yang setipe dengan manhaj mereka. Yaitu mereka yang menyingkirkan
Kitabullah dan Sunnah, lalu secara totalitas menjadikan akal, pikiran, dan
pendapatnya sebagai sandaran. Apa yang ia pandang benar menurut akalnya, maka
ia akan berpegangan padanya. Adapun kalau ia pandang bertentangan dengan
akalnya, iapun akan meninggalkannya, meskipun yang mengatakannya adalah Allâh
dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sebab yang dijadikan sebagai
landasan dan pegangan menurutnya adalah apa yang disimpulkan oleh akal dan
pendapat mereka.
Padahal
sebagaimana telah diketahui, bahwa akal
manusia itu tidak sama. Oleh sebab itu, ketika banyak orang berpedoman pada
akal, maka itu menjadi sebab maraknya berbagai penyimpangan, karena akal
manusia berbeda-beda. Sebagian salaf mengatakan, “Seandainya hawa nafsu itu
hanya satu, maka pasti disebut al-haq (kebenaran), akan tetapi hawa nafsu itu
bermacam-macam dan beragam.” Demikian pula, kita bisa mengatakan, “Seandainya
akal itu satu, maka pasti ia disebut al-haq (kebenaran), akan tetapi akal itu
beragam dan bermacam-macam.”
Pengikut hawa
nafsu ini lebih mengedepankan akal mereka daripada wahyu yang dibawa oleh
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka menjadikan akal sebagai
pedoman dan landasan. Akal menjadi pegangan mereka. Dulu, salah seorang salaf
pernah membuat sebagian kalangan mereka tidak berkutik, ketika dikatakan kepada
mereka bahwa konsekuensi dari pendapat mereka (yang menetapkan bahwa akal
mereka merupakan landasan-red) adalah mereka harus mengatakan: “Aku bersaksi
bahwa akalku adalah utusan Allâh”; sebagai ganti dari ucapan: “aku bersaksi
bahwa Muhammad adalah utusan Allâh”. Karena yang dijadikan sebagai pegangan dan
landasan olehnya adalah akalnya.
Ini salah
satu sisi penyimpangan dalam akal yaitu berlebih-lebihan terhadap akal, dan
mengangkat status akal melebihi kedudukannya yang semestinya. Di samping itu,
ada juga penyimpangan dalam masalah akal yaitu menyepelekan dan menjauhkan
peran akal. Ini banyak didapati pada kalangan ahli tasawwuf yang sesat dan tak
berilmu; di mana mereka menyingkirkan akal mereka, kemudian atas nama tasawwuf,
mereka masuk pada hal-hal yang mereka sebut sebagai jadzb, syathahat[8] atau
junun dan semacamnya. Sehingga mereka terjatuh dalam berbagai macam
penyimpangan yang begitu buruk, yang tidak bisa diterima akal sehat. Mereka
bisa terperosok kedalam hal-hal tersebut karena mereka telah menyingkirkan
fungsi akal secara total.
Sedangkan
ahlussunnah -semoga Allâh merahmati mereka-merupakan kalangan yang berada di
pertengahan. Mereka tidak melampaui batasan akal, namun juga tidak menyingkirkan
dan membatalkan peran akal. Mereka menempatkan akal pada batasan dan koridor
yang telah ditentukan.
Sebagaimana
pendengaran manusia mempunyai batas kemampuanan yang tidak mungkin dilampaui,
begitu pula dengan pandangan dan indra lainnya, termasuk akal. Akal punya batasan tertentu. Barangsiapa
berusaha untuk memaksa akalnya memasuki area di luar batas kemampuannya, maka ia akan tersesat.
Karena
itulah, akal para pengikut Ahlussunnah wal Jamaah tetap sehat dan selamat dari
penyimpangan. Karena mereka memberdayagunakan akal mereka pada batasannya yang
telah ditentukan, dan tidak mengabaikannya.
إِنَّ
فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ
لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. [Ali Imran /3: 190]
Mereka
adalah orang-orang yang mempunyai pikiran yang lurus dan akal yang unggul.
Mereka menempatkan akal mereka pada batasan dan bidang yang semestinya, tanpa
ada unsur pengultusan akal ataupun pengabaian akal, tidak berlebih-lebihan
namun juga tidak menyepelekan, tanpa menambah-nambahkan ataupun mengurangi. Ini
adalah perkara agung yang merupakan salah satu sebab ahlussunnah tegar di atas
kebenaran.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo
Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792,
08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Majmû`
Fatâwâ, Ibnu Taimiyyah, 13/135-136
[2] Lihat
Miftâh Dâr As-Sa`âdah karya Ibnul Qayyim, hlm. 90
[3] Syarh
al-`Aqîdah ath-Thahâwiyyah, hlm. 180
[4] Artinya
bukan wewenangku untuk mendatangkan keyakinan dari diriku di mana aku menggagas
dan merumuskannya. Bukan pula wewenang orang yang lebih senior dariku seperti
Imam Ahmad, Asy-Syafii, Malik, dan lainnya dari kalangan para imam agama ini.
Tidak ada satupun dari mereka yang
mencanangkan suatu keyakinan dari dirinya
[5] Majmû`
al-Fatâwâ, 3/203
[6] Majmû`
al-Fatâwâ, 5/256
[7] Majmû`
al-Fatâwâ, 19/155
[8]
Syathahat: ucapan ganjil yang dilontarkan kaum sufi yang kaum Mukmin merasa
terusik karena seringkali bertentangan dengan prinsip akidah (-pen).
Komentar
Posting Komentar