MENGAPA AKIDAH SALAF KOKOH DAN SELAMAT ( 3 )
MENGAPA AKIDAH SALAF KOKOH DAN SELAMAT?
Oleh
Syaikh Prof.Dr.Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al-Badr
11. Mereka Benar-benar Dengan Akidah Mereka dan Tidak Menjadikannya Bahan
Perdebatan
Ini merupakan sebab yang sangat urgen agar tetap tegar di atas keyakinan
yang haq yaitu menerima dan merasa puas dengan keyakinannya. Ahlussunnah itu
menerima dan merasa puas secara total serta percaya penuh dengan agama dan
keyakinan yang mereka pegang. Ahlussunnah tidak perlu menimbang agama dan
keyakinan mereka dengan pendapat dan logika orang-orang. Berbeda dengan
pengikut hawa nafsu (ahlul ahwâ’) dan bid’ah yang selalu berpindah-pindah dari
satu orang ke orang lainnya untuk
bertanya dan meminta pendapat tentang ajaran yang ia pegang. Sebab ia merasa
ragu, tidak yakin dan kurang nyaman dengannya.
Pengikut Ahlussunnah yakin seyakin-yakinnya. Ia tidak sudi akidahnya
diperdebatkan dan diperbantahkan. Ia merasa puas dan menerima akidahnya secara
total; dan sangat merasa nyaman dengannya. Karena keterikatannya dengan
akidahnya adalah keterikatan dengan Kitabullâh dan Sunnah Nabi-Nya. Kitabullah
yang tak ada kebathilan didalamnya dari semua sisi; dan sunnah Nabi-Nya yang
tidak berbicara berdasarkan hawa nafsu. Ia berada pada puncak ketenangan dan
puncak kepercayaan terhadap akidahnya. Sama sekali ia tidak perlu untuk
menimbangnya kepada seorang ahli debat, ahli dialektika dan semacamnya. Ia
berjalan di atas akidahnya dengan satu irama sejak awal hingga ujungnya, tanpa
ada keraguan, keterombang-ambingan, tidak berpindah-pindah (dalam sikap dan
keyakinannya), dan tanpa merasa sangsi.
Berbeda dengan keadaan orang yang berada di atas kebathilan. Allâh Azza wa
Jalla berfirman:
مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلًا ۚ بَلْ هُمْ قَوْمٌ
خَصِمُونَ
Mereka
tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah
saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar. [Az-Zukhruf /43:58]
Kita dapati
mereka terombang-ambing dan ragu; mereka paparkan keyakinan yang ada pada
mereka pada pendapat dan logika orang-orang.
Di sini
kami nukilkan beberapa atsar dari kalangan salaf yang sangat besar faidahnya:
Hudzaifah
Radhiyallahu anhu berkata kepada Abu Mas’ûdz , “Sesungguhnya kesesatan yang
nyata adalah bila apa yang engkau ingkari engkau jadikan sebagai yang ma’rûf
(bentuk kebaikan); dan apa yang engkau pandang ma’rûf justru engkau ingkari.
Dan hindarilah sikap plin-plan (mudah berubah, tidak konsisten) dalam agama
Allâh Azza wa Jalla . Karena sesungguhnya agama Allâh itu satu.”[1]
Umar bin
Abdil Aziz rahimahullah berkata, “Barangsiapa menjadikan agamanya sebagai bahan
untuk diperdebatkan, ia akan banyak berpindah-pindah (dalam keyakinannya).”[2]
Ia juga
tberkata, “Barangsiapa banyak perbantahannya, maka ia akan senantiasa
berpindah-pindah dari satu agama (faham dalam suatu keyakinan) ke agama lain
(faham lainnya).”[3]
Ma’n bin
Isa berkata, “Suatu hari Mâlik Radhiyallahu anhu pulang dari masjid sambil
bertumpu pada tanganku, lalu ada seorang lelaki yang dikenal dengan sebutan
Abul Juwairiyah menyusulnya. Ia tertuduh mempunyai pemahaman murji’ah. Ia
berkata, “Wahai Abu Abdillah! Dengarlah sesuatu dariku; aku adukan
argumentasiku kepadamu dan aku beritahukan pendapatku kepadamu!” Mâlik
Radhiyallahu anhu menjawab, “(Bagaimana) Kalau engkau berhasil mengalahkanku
(hujahku)?” Ia berkata, “Kalau aku berhasil mengalahkanmu, engkau harus
mengikutiku!” Mâlik berkata, “Kalau ada orang lain yang mengajak kita berdialog
(berdebat) lalu ia berhasil mengalahkan kita?” Ia berkata, “Kita ikuti dia.”
Malik Radhiyallahu anhu berkata, “Wahai hamba Allâh! Allâh Azza wa Jalla
mengutus Muhammad n dengan satu agama. Namun aku lihat, engkau ini
berpindah-pindah dari satu (paham) agama ke paham yang lain.”[4]
Bagi
mereka, urusannya akan berpindah-pindah dari satu orang ke orang lain; dari
satu pendapat ke pendapat lain. Inilah makna ucapan Umar bin Abdil Aziz yang
tersebut sebelumnya, “Barangsiapa yang menjadikan agamanya sebagai bahan
perbantahan, ia akan banyak berpindah-pindah.”
Malik
Radhiyallahu anhu berkata, “Orang itu[5] bila kedatangan sebagian ahlul ahwâ’
akan berkata, “Saya berada di atas bukti yang jelas dari Rabbku, sedangkan
engkau ini orang yang ragu-ragu. Maka pergilah engkau kepada orang yang
ragu-ragu seperti keadaanmu, debatlah dia!” Malik Radhiyallahu anhu berkata,
“Dan orang tersebut berkata, “Mereka membuat rancu diri mereka sendiri,
kemudian mereka mencari orang yang bisa mengenalkan (masalah agama) kepada
mereka.”[6]
Ishaq bin
Isa ath-Thabbâ’ berkata, “Malik bin Anas Radhiyallahu anhu mencela perbantahan
dalam urusan agama. Ia berkata: ‘Setiap kali datang kepada kita seseorang
yang lebih lihai dalam berdebat daripada
orang lain, ia ingin agar kita menolak apa yang telah dibawa Jibril kepada
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”[7]
Al-Hasan
al-Bashri rahimahullah berkata, “Modal seorang Mukmin adalah agamanya. Kalau
modal ini hilang, maka hilang pula agamanya. Ia tidak boleh meninggalkan modal
agama ini kepada orang-orang; dan tidak boleh mempercayakannya kepada
orang-orang.”[8]
Beginilah
keadaan ahlussunnah, tidak ada seorangpun dari mereka yang menimbang agama dan
keyakinannya pada logika, hawa nafsu dan pendapat manusia. Mereka hanya
berpegang dengan apa yang ada dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam, sesuai dengan pemahaman para salaf umat ini.
Dzakwân
rahimahullah berkata, “Al-Hasan al-Bashri melarang perdebatan dalam agama, dan
ia berkata, ‘Yang melakukannya hanyalah orang yang ragu dalam agamanya.’[9]
Ahmad bin
Sinân berkata, “Abu Bakr al-Ashamm datang kepada Abdurrahman bin Mahdi. Ia
berkata, ‘Aku datang kepadamu untuk berdebat denganmu dalam masalah agama.”
Abdurrahman menjawab, “Kalau engkau ada keraguan terhadap sesuatu dalam masalah
agamamu, maka berdirilah engkau (di sini) hingga aku keluar untuk shalat. Kalau
tidak, maka pergilah engkau menuju pekerjaanmu!” Maka al-Ashamm pun pergi dan
tidak berdiam (di sana).”[10]
Dalam
ucapan ini terkandung makna bahwa ahlussunnah disibukkan dengan kebenaran yang
mereka pegang, dan disibukkan dengan ibadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala.
Inilah
beberapa nukilan yang berfaidah yang saya nukilkan dari kitab al-Ibânah karya
Ibnu Baththah al-Ukburi rahimahullah ; yang merupakan sebuah kitab spektakuler
terkait dengan tema pembahasannya. Semua nukilan dari kaum salaf ini
menunjukkan kekokohan keyakinan beragama mereka, besarnya perhatian dan
penjagaan mereka terhadapnya. Mereka tidak menjadikan agama ini sebagai bahan
perdebatan.
Inilah di
antara sebab ketegaran mereka di atas kebenaran.
12. Mereka
Yakin Bahwa Masalah Akidah Adalah Masalah Yang Tetap, Tidak Terkena Perubahan
Apapun
Kaum salaf
yakin bahwa permasalahan i’tikad, seperti masalah iman kepada Allâh, Asma’ dan
Sifat-Nya, percaya kepada hari akhir dan masalah-masalah semacamnya yang dibawa oleh para Rasûl merupakan perkara
yang tetap (konstan), yang tidak terkena naskh (penghapusan), perubahan dan
semacamnya. Karena akidah bukanlah perkara yang bisa dijangkau oleh naskh, oleh
karena itu ajaran para nabi dari awal hingga akhir dalam masalah akidah adalah
satu. Dalam hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الأَنْبِيَاءُ
إخْوَةٌ مِنْ عَلَّاتٍ وَأُمَّهَاتُهُمْ شَتَّى وَدِينُهُمْ وَاحِدٌ
Para nabi
adalah saudara sebapak, sedangkan ibu mereka berbeda-beda. Namun agama mereka
satu. [Shahîh Muslim, 4/1837]
13. Akidah
Ahlussunnah itu Jelas , Mudah dan Jauh dari Kepelikan
Akidah
ahlussunnah wal jamaah itu jelas sejelas matahari di siang bolong. Ini
disebabkan oleh sumbernya yang juga jelas dan terang, berbeda dengan akidah
selain mereka diliputi oleh berbagai macam kepelikan dan ketidakjelasan serta
banyak unsur syubhat (hal yang samar-samar).
Imam Ibnul
Qayyim rahimahullah dalam ash-Shawâ`iqul Mursalah ketika menjelaskan akidah
yang hak ini, beliau mengatakan, “Ia seperti cahaya matahari bagi penglihatan,
tak ada kemusykilan (kesulitan) padanya. Penyebutan secara global (ijmâl) tidak
merubah sisi pendalilannya (wajhu dalâlah). Dan (makna-makna) yang dibolehkan
dan juga dimungkinkan tidak bertentangan dengannya. Ia masuk dalam pendengaran
tanpa memerlukan izin. Posisinya bagi logika bagaikan posisi air tawar segar
bagi orang yang haus dahaga. Keutamaannya dibandingkan argumentasi ahli logika
dan kalam, seperti keutamaan Allah k atas manusia. Tidak mungkin bagi seseorang
untuk mencercanya dengan cercaan yang bisa menimbulkan kerancuan. Kecuali kalau
sekiranya ia bisa untuk mengingkari terangnya cuaca pada pertengahan siang saat
matahari terik.[11]
Jadi, orang
yang hendak mencela akidah yang shahih lagi selamat ini; yang diambil dari
al-Kitab dan as-Sunnah; perumpamaannya seperti seseorang yang mendatangi
orang-orang pada pertengahan siang seraya berkata: “aku ingin membuktikan
kepada kalian, bahwa sekarang ini adalah waktu malam, bukan siang”. Inilah
permisalan orang yang hendak menaburkan keraguan tentang keabsahan akidah yang
sahih lagi selamat yang diambil dari Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.
Namun
masalahnya adalah seperti yang Allâh Azza wa Jalla firmankan:
فَإِنَّهَا
لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
Karena
sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di
dalam dada. [Al-Hajj /22: 46]
14. Mereka
Mengambil Pelajaran Pengikut Hawa Nafsu
Ada
ungkapan hikmah yang mengatakan:
السَّعِيْدُ
مَنِ اتَّعَظَ بِغَيْرِهِ
Orang yang
bahagia adalah orang yang mengambil pelajaran dari orang lain.
Para
pengekor hawa nafsu yang meninggalkan al-Kitab dan as-Sunnah menggiring mereka
pada sikap plin-plan dan penyelewengan, berpindah-pindah dan gamang, serta jauh dari ketegaran dan
kekokohan. Mereka selalu saja berpindah ke sana kemari. Saya nukilkan di sini
beberapa nukilan dari para ahli ilmu tentang keadaan para pengikut hawa nafsu.
Syaikhul
Islam rahimahullah berkata, “Ahlul kalam adalah orang yang paling banyak
berpindah-pindah dari satu pendapat ke pendapat lainnya. Mereka sering
menetapkan (benarnya) suatu pendapat di suatu tempat, namun di tempat lain juga
menetapkan (benarnya) pendapat yang bertentangan dengan pernyataan pertama,
sekaligus memvonis kafir orang yang berpendapat demikian. Ini adalah bukti
ketidakyakinan mereka. Sesungguhnya iman itu seperti yang dikatakan Qaisar
ketika ia bertanya kepada Abu Sufyan tentang orang-orang yang masuk Islam
bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Qaisar bertanya, “Apakah ada salah
seorang dari mereka murtad dari agamanya karena benci kepadanya setelah ia
memasukinya?” Abu Sufyan menjawab, “Tidak.” Qaisar berkata, “Demikian pula
dengan iman, bila manis indahnya telah merasuk ke dalam hati, maka tak ada
seorangpun yang membencinya.”[12]
Dalam kisah
ini terdapat pelajaran dan ibrah dari keadaan para pengekor hawa nafsu, yaitu
mereka tidak memiliki ketegaran dan kekokohan. Mereka selamanya akan
berpindah-pindah dan dalam kegamangan.
Di antara
gambaran dan penjelasan para Ulama tentang keadaan para pengikut hawa nafsu
adalah ucapan Abul Muzhaffar As-Sam’âni yang dinukilkan oleh at-Taimi dan Ibnul
Qayyim. As-Sam’âni berkata, “Bila engkau perhatikan ahli bid’ah, engkau akan
dapati mereka bercerai-berai dan berselisih paham dalam banyak kelompok dan
golongan. Hampir-hampir tidak akan engkau dapati dua orang dari mereka berada
dalam satu jalan yang sama dalam masalah i’tiqad. Sebagian mereka memvonis
lainnya sebagai ahli bid’ah; bahkan sampai pada taraf mengkafirkan. Anak
mengkafirkan ayahnya, seseorang mengkafirkan saudaranya, dan seseorang
mengkafirkan tetangganya. Engkau lihat selamanya mereka berada dalam
pertikaian, saling membenci dan berselisih. Umur mereka habis sedangkan mereka
tidak bisa sampai pada satu kata yang sama.”[13]
Ibrâhîm an-Nakha’i
berkata, “Mereka memandang bahwa plin-plan dalam agama termasuk keraguan hati
terhadap Allâh Azza wa Jalla .”[14]
Malik bin
Anas berkata, “Merupakan penyakit yang sangat akut: berpindah-pindah (dari satu
pendapat ke pendapat lain) dalam agama.” Beliau Radhiyallahu anhu juga berkata,
“Seseorang berkata, ‘Kalaulah engkau hendak bermain-main, maka janganlah engkau
sekali-kali bermain-main dengan agama kamu.”[15]
Orang yang
memperhatikan keadaan ahlul ahwâ’ (pengekor hawa nafsu), ia akan dapati bahwa
pada hakikatnya mereka mempermainkan agama, berpindah-pindah (dari satu
pendapat ke pendapat lainnya). Tak ada kekokohan pada mereka, bahkan
sampai-sampai salah seorang tokoh ahli kalam –di mana dia berada dalam
kebimbangan dan kegamangan- pernah ditemui oleh salah seorang terpandang dari
kalangan ahlussunnah. Sang ahli kalam bertanya, “Apa keyakinanmu?” Ia menjawab,
“Aku meyakini seperti apa yang diyakini oleh kaum Muslimin –artinya apa yang
datang dalam Kitabullah dan Sunnah Rasûl-Nya-.”
Sang ahli kalam bertanya kembali, “Dan engkau merasa tentram dan lega
hati dengan keyakinanmu?” Ia menjawab, “Ya.” Ahli kalam berkata, “Bersyukurlah
kepada Allâh atas nikmat ini. Karena aku, demi Allâh, aku tidak tahu apa yang
aku yakini? Demi Allâh! Aku tidak tahu apa yang aku yakini? Demi Allâh, aku
tidak tahu apa yang aku yakini! Lalu ia menangis hingga membasahi
jenggotnya.[16]
Ini
dikarena mereka menjadi masalah akidah menjadi bahan perbantahan , perdebatan
dan semacamnya.
Orang yang
memperhatikan keadaan ahlul ahwâ’ mendapati ada pelajaran dan ibrah pada
mereka, seperti yang telah disampaikan diawal poin ini, “Orang yang bahagia
adalah yang mengambil pelajaran dari orang lain.” Maka pemegang sunnah mestinya
bersyukur kepada Allâh atas nikmat sunnah. Dan memohon kepada Allâh Subhanahu
wa Ta’ala agar menjadikannya tegar di atasnya.
15. Mereka
Bersatu dan Tidak Berselisih
Di antara
sebab ketegaran Ahlussunnah di atas keyakinan yang hak ini adalah mereka
bersatu dan tidak bercerai-berai. Ini berbeda dengan ahlul ahwâ’, mereka
cerai-beraikan agama mereka dan mereka terpecah, bergolong dan berkelompok.
Setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada kelompoknya.
Qatâdah t
mengatakan, “Seandainya keyakinan khawarij itu (benar di atas) petunjuk, pasti
mereka bersatu padu, namun mereka di atas kesesatan, sehingga mereka
bercerai-berai.”[17] Ucapan ini bisa diterapkan pada semua ahli bid’ah. Adapun
Ahlussunnah, maka mereka tetap bersatu padu. Tidak ada perpecahan atau
perselisihan pada mereka dalam masalah agama Allâh Azza wa Jalla . Mereka
berada di atas jalan yang lurus, selalu menjaganya, saling mewasiatkannya dan
bersabar menjalaninya.
Abul
Muzhaffar as-Sam’âni berkata, “Di antara yang menunjukkan bahwa ahlul hadits
berada di atas kebenaran adalah bila engkau menelaah semua kitab-kitab mereka
yang ditulis sejak awal hingga yang terakhir, baik kitab klasik maupun yang
baru, akan engkau dapatkan –meski mereka berbeda negeri dan masa, berjauhan
negara di antara mereka, dan masing-masing mendiami daerah tertentu- mereka
berada di atas satu jalan dan satu metode dalam penjelasan tentang masalah
akidah. Mereka berjalan di atas jalan yang mereka tidak menyimpang darinya.
Dalam hal tersebut, mereka satu hati. Mengenai penukilan yang mereka nukilkan,
tidak engkau dapati di dalamnya perbedaan atau perselisihan dalam sesuatu
apapun, meski hanya sedikit. Bahkan sekiranya engkau himpun semua yang
dituturkan lisan mereka dan apa yang mereka nukilkan dari salaf mereka, engkau
akan mendapatinya seolah-olah ia datang dari satu hati dan meluncur dari satu
lisan. Lalu, apakah ada dalil atas kebenaran yang lebih terang dari hal ini?
Allâh Azza wa Jallaberfirman:
أَفَلَا
يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا
فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
Maka apakah
mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi
Allâh, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. [An-Nisâ’
/4: 82]
Allâh juga
berfirman:
وَاعْتَصِمُوا
بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ
عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ
بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allâh, dan janganlah kamu
bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allâh kepadamu ketika kamu dahulu
(masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allâh mempersatukan hatimu, lalu
menjadilah kamu karena nikmat Allâh, orang-orang yang bersaudara; [Ali Imrân
/3: 103][18]
Ini juga
merupakan di antara sebab yang begitu agung yang membuat ahlussunnah tetap
tegar di atas kebenaran, dan istiqamahnya di atas akidah yang sahih serta
selamat dari penyimpangan, sikap plin-plan dan berubah-rubah.
Ini
merupakan poin terakhir yang saya terangkan. Namun sebelum menutup, saya ingin
membawakan beberapa nukilan yang menunjukkan bahwa Ahlussunnah itu sepakat
dalam masalah akidah.
Imam Malik
rahimahullah mengatakan, “Apa-apa yang pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bukan termasuk (ajaran) agama, maka pada hari ini pun tidak akan bisa
menjadi (ajaran) agama; dan tidak akan menjadi ajaran agama hingga kiamat
menjelang. Dan generasi akhir dari umat ini tidak akan baik kecuali dengan
sesuatu yang dengannya generasi awal menjadi baik.”
Bila engkau
perhatikan akidah mereka pada masa sekarang ini, dan juga pada semua masa yang
silam, engkau dapati ia adalah akidah yang satu. Saya berikan di sini sebagian
contoh:
Misalnya ;
bila engkau periksa tentang sisi tauhid dan keikhlasan; ikhlas beramal karena
Allâh Azza wa Jalla , engkau dapati mereka semua merupakan para penyeru tauhid. Mereka semua menyeru pada ikhlas beramal
karena Allâh Azza wa Jalla . Semuanya memberi peringatan agar tidak jatuh dalam
kesyirikan terhadap Allâh dan tidak memberikan peribadatan kepada selain Allâh
Azza wa Jalla .
Engkau tidak
akan temukan seorang pun diantara mereka
yang menyerukan satu bentuk apapun dari perbuatan syirik atau yang bertentangan
dengan tauhid. Tidak seperti yang dilakukan oleh banyak kalangan dari ahlul
ahwâ’; di mana mereka menyeru pada bentuk-bentuk penyimpangan ini. Lalu mereka
menamakannya dengan sebutan-sebutan lainnya. Mereka menamakan berbagai bentuk
kesyirikan dengan sebutan tawassul, atau syafaat dan semacamnya.
Misal lain,
mereka semua sepakat untuk menyokong sunnah dan melarang bid’ah dan melarang
mengikuti hawa nafsu. Tidak engkau dapati di antara mereka kecuali ia
menyerukan Sunnah, dan memperingatkan dari bid’ah. Tidak engkau temukan di
antara mereka orang yang menganggap bahwa (mengikuti) hawa nafsu adalah hal
yang baik dan tidak ada pula yang memotivasi hal-hal bid’ah. Atau tidak ada
pula yang berusaha untuk menjelaskan bahwa ada sisi-sisi kebaikan dari
perkara-perkara bid’ah, atau yang semacamnya. Yang ada, mereka dari yang
pertama hingga yang terakhir, semua memperingatkan dari bid’ah dan hawa nafsu,
dan menyeru manusia untuk berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Misal
ketiga: Iman mereka kepada asma’ dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla . Engkau
dapati mereka -dari yang pertama sampai yang akhir- berjalan di atas satu
metode. Mereka menetapkan Asma’ dan sifat yang Allâh tetapkan untuk Diri-Nya,
dan apa-apa yang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetapkan. Mereka
menafikan apa yang Allâh nafikan dari Diri-Nya, dan apa yang Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam nafikan dari-Nya berupa kekurangan dan cela. Mereka tidak
melakukan tahrîf, ta’thîl, takyîf, tidak juga tamtsîl. Kaidah yang mereka
pegang dalam masalah tersebut adalah seperti yang Allâh Azza wa Jalla kabarkan:
لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia,
dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat. [Asy-Syûrâ /42: 11]
Mereka
semua berjalan di atas satu jalan dalam masalah ini.
Adapun
selain mereka, engkau dapati ada di antara mereka yang mu`aththil (ahli
ta’thîl) atau muharrfi (ahli tahrîf); mukayyif (ahli takyîf) atau mumatstsil
(ahli tamtsîl); atau yang menempuh jalan lainnya; yang juga disertai
perselisihan yang membentang luas pada masing-masing penganut madzhab tersebut.
Misal
terakhir, kesamaan manhaj ahlussunnah wal jamaah dalam metode ber-istidlâl
(pengambilan dalil). Ini adalah permasalahan yang sudah saya terangkan
sebelumnya. Jadi, metode mereka dalam ber-istidlâl adalah satu; dan sandaran
mereka dalam hal itu juga satu; yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Di
pungkasan kalimat ini, saya bertawajjuh
kepada Allâh Azza wa Jalla dengan
perantara Asmâ’-Nya yang terbaik dan terindah, dan Sifat-sifat-Nya yang
Mahamulia, agar Dia berkenan menyertakanku dan juga pembaca sekalian agar bisa
dibangkitkan bersama dengan para hamba-Nya yang shalih. Dan agar Dia memberi
anugerah kepada kami dan juga kalian agar bisa konsisten berjalan di atas
Sunnah dan mengikuti jejak langkah salaf umat ini.
Semoga
Allâh berkenan menjauhkan kita dari hawa nafsu dan bid’ah! Semoga Allâh Azza wa
Jalla memberikan kita akidah yang shahih; iman yang selamat, dan suluk
(perilaku) yang istiqamah, serta adab dan akhlak nan mulia.
Kita
memohon kepada Allâh agar memberi taufiq kepada kita semua dengan taufiq
dari-Nya; menunjuki kita semua jalan yang lurus, dan menjadikan kita sebagai
hamba yang bisa mengarahkan petunjuk dan juga mendapatkan petunjuk; menjadikan
kita termasuk orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang terbaik
darinya. Sesungguhnya Dia Yang Mengurusi itu semua, dan Yang Mampu
mewujudkannya.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo
Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792,
08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1]
Al-Ibânah karya Ibnu Baththah 2/505.
[2]
Al-Ibânah, 2/503
[3]
Al-Ibânah, 2/504
[4]
Al-Ibâna,h 2/508
[5] Imam
Malik t mengisyaratkan pada salah seorang imam salaf yang tidak beliau sebut
namanya.
[6]
Al-Ibânah, 2/509
[7]
Al-Ibânah, 2/507
[8]
Al-Ibânah, 2/509
[9]
Al-Ibânah, 2/519
[10] Al-Ibânah,
2/538
[11]
Ash-Shawâ`iq al-Mursalah, 3/1199
[12] Majmû`
Fatâwâ, 4/50
[13]
Mukhtashar Ash-Shawâ`iq Al-Mursalah, hlm. 518
[14]
Al-Ibânah 2/505
[15]
Al-Ibânah 2/506
[16] Lihat
Syarh al-Aqidah ath-Thahâwiyyah, hlm. 246
[17] Tafsîr
ath-Thabari 3/178.
[18]
Mukhtashar Ash-Shawâ`iq al-Mursalah, hlm. 518
Komentar
Posting Komentar