MENGAPA AKIDAH SALAF KOKOH DAN SELAMAT ( 2 )




MENGAPA AKIDAH SALAF KOKOH DAN SELAMAT?

Oleh

Syaikh Prof.Dr.Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al-Badr

6.  Jiwa Ahlussunnah Merasa Sangat Tenteram Dengannya

Semua orang ahlussunnah merasa hatinya tenang, jiwanya tentram bahkan merasa bahagia dengan akidah yang haq yang Allâh Azza wa Jalla anugerahkan kepada mereka. Rasa tenang, tenteram dan bahagia yang dirasakan oleh Ahlussunnah tersebut tidak dirasakan oleh para pengikut hawa nafsu dan mustahil mereka bisa merasakannya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

Inilah diantara faktor yang menyebabkan para pengikut al-haq itu kokoh pendiriannya, jiwa dan hati mereka sangat tenang, tentram dan sangat nyaman.

Jika memang demikian keadaan hati mereka, lantas untuk apa lagi mereka harus beralih dan mencari akidah yang lain ?!!

7.  Berpegang Teguh dengan Pemahaman Para as-Salafus Shalih Yaitu Para Sahabat dan Pengikut mereka

Disamping faktor-faktor yang telah disebutkan didepan, ada juga faktor lain yaitu mereka mencukupkan diri dengan pemahaman para Sahabat dan para pengikut mereka dalam memahami nash-nash dan kandungannya. Karena pemahaman manusia bisa jadi salah dan keliru, namun barangsiapa yang menggali agama dari sumber aslinya yaitu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan jiwa yang bersih, akal yang sehat dan benar-benar jujur, maka dia benar-benar berhak untuk meraih ilmu, keselamatan dan hikmah. (Mereka itulah para Sahabat-red.) Oleh karena itu, Ahlussunnah selalu berpegang teguh pada pemahaman para Sahabat dalam memahami dalil dan nash.

Imam Sijzi rahimahullah dalam kitab ar-Radd ‘ala Man Ankara al-Harf was Shaut, ketika menjelaskan sifat Ahlussunnah mengatakan, “Mereka adalah kelompok yang konsisten di atas akidah yang dinukil oleh para as-salafus shaleh dari Rasul n atau dari para Sahabat Radhiyallahu anhum dalam hal-hal yang tidak ada nash yang jelas dari al-Qur’an dan Hadits, karena mereka adalah para imam panutan. Kita diperintahkan untuk mengikuti jejak mereka.”[4]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Kamu tidak bisa meraih derajat imam dalam ilmu dan agama seperti (derajat imam yang telah diraih oleh-red) imam Malik, al-Auza’i, ats-Tsauri, Abu Hanifah, asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah, juga seperti al-Fudhail, Abu Sulaiman, Ma’ruf al-Kurkhiy, kecuali disebab mereka telah berterus terang bahwa ilmu terbaik mereka adalah ilmu karena mengikuti ilmu para Sahabat dan sebaik-baik amalan mereka adalah amalan yang mengikuti amalan para Sahabat. Mareka juga memandang bahwa para Sahabat g itu mengungguli dalam semua keutamaan.”[5]

Al-Ajurri juga dalam kitab asy-Syari’ah mengatakan, “Tanda yang menunjukkan bahwa seorang itu dikehendaki baik oleh Allâh Azza wa Jalla adalah dia menempuh jalan ini (yaitu berpegang teguh dengan-red) al-Qur’an dan Sunnah serta sunnah para Sahabat g dan a orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik, serta mengikuti jejak para Ulama kaum Muslimin di setiap negeri seperti al-Auza’i, Sufyan Tsauri, Malik bin Anas, Syafi’i, Ahmad bin Hambal, al-Qasim bin Sallam, dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka. Juga menjauhi semua pendapat yang dipegangi oleh para Ulama ini”[6]

Ibnu Qutaibah juga berkata, “Seandainya kita ingin pindah dari pendapat ahli hadits (Ahlussunnah) dan membencinya menuju pendapat ahli kalam, maka pasti kita pindah dari persatuan menuju perpecahan, dari kehidupan yang teratur menuju kehidupan yang terbengkalai dan dari suasana damai menuju suasana yang beringas.”[7]

Ini semua menunjukkan bahwa kekokohan itu tidak mungkin diraih kecuali dengan bersandar pada pemahaman salaf shalih secara totalitas. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. [An-Nisâ’/4:115]

8.  Sikap Tengah-Tengah Tidak Berlebihan Dan Tidak Meremehkan

Ahlussunnah bersikap tengah-tengah tidak berlebih-lebihan dan tidak meremehkan, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. [Al-Baqarah/2:143]

Sikap tengah-tengah mereka maksudnya mereka senantiasa berpegang teguh dan istiqamah di atas al-haq serta menjauhi jalan-jalan menyimpang, baik yang cenderung kepada sikap berlebih-lebihan atau yang cenderung kepada sikap meremehkan. Mereka tetap tegar di jalan itu dengan sebab pertolongan dari Allâh Azza wa Jalla buat mereka. Inilah diantara faktor penting kekokohan akidah mereka.

Tawassuth (sikap tengah-tengah) itu tidak akan mungkin terwujud kecuali dengan berpegang teguh dengan al-haq, tidak menambah juga tidak mengurangi. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

القَصْدَ الْقَصْدَ تَبْلُغُوْا

Hendaklah kalian bersikap yang sedang-sedang, niscaya kalian bisa mencapai (maksud kalian). [HR. Al-Bukhari, no.6463]

(Maksudnya sikap terbaik bagi seseorang yang hendak melakukan perbuatan taat adalah sikap sedang-sedang dan bertahap agar bisa terus-menerus melakukan perbuatan tersebut, tanpa putus, tidak terlalu memaksa diri sampai akhirnya tidak mampu dan berhenti dari perbuatan taat tersebut-red[8])

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Agama Allâh itu antara sikap berlebih-lebihan dan sikap meremehkan. Dan sebaik-baik manusia adalah yang bersikap tengah, lepas dari sikap orang-orang yang meremehkan (urusan agama-red), namun tidak sampai pada sikap berlebih-lebihan. Allâh Azza wa Jalla telah menjadikan umat ini umat yang tengaj-tengah yaitu umat terbaik yang adil, karena berada diantara dua sikap yang tercela.[9]

9.  Tidak Lebih Mendahulukan Akal dan Rasa Daripada Al-Qur’an dan Sunnah

Masalah ini sudah sedikit disinggung pada poin-poin sebelumnya. Disini kami akan membawakan perkataan Abul Muzhfir as-Sam’ani t yang dinukil oleh at-Taimi dalam kitabnya al-Hujjah juga ibnul Qayyim t dalam ash-Shawâ’iq. As-Sam’âni t mengatakan, “Penyebab utama ahli hadits (Ahlussunnah) sepakat adalah karena mereka mengambil agama dari al-Qur’an dan Sunnah sehingga membuat mereka bersatu dan saling mencintai. Sementara ahli bid’ah, karena mereka mengambil agama dari akal dan logika mereka, maka itu membuat mereka saling berpecah dan berselisih. Karena penukilan dan riwayat dari orang-orang terpercaya dan ahli jarang sekali yang berbeda, jika terjadi perbedaan dalam lafazh atau kata, maka itu tidak membahayakan (tidak merusak) agama mereka. Adapun akal, perasaan dan pendapat, maka jarang sekali ada kesepakatan, bahkan akal, pendapat atau perasaan seseorang akan berbeda dengan yang lain.”[10]

Jadi, diantara faktor utama kekokohan akidah mereka adalah mereka tidak mendahulukan akal, perasaan dan pendapat mereka daripada al-Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , berbeda dengan para ahli bid’ah yang lebih mendahulukan hal-hal tersebut di atas daripada al-Qur’an dan Sunnah. Diantara mereka ada yang lebih mendahulukan akal, ada yang lebih mendahulukan pendapat, ada yang mendahulukan perasaannya, ada yang mendahulukan cerita dan mimpi dan ada pula yang lebih mendahulukan hawa nafsu daripada perintah Allâh Azza wa Jalla . Mereka berbeda-beda dan bertingkat-tingkat, masing-masing memiliki metode dan jalan. Adapun ahlussunnah, maka mereka terselamatkan dari keburukan-keburukan ini dan tetap tegar di atas Kitabullah dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

10. Sangat Bergantung Kepada Allâh Azza wa Jalla

Ahlussunnah senantiasa memperbaiki hubungan dengan Allâh Azza wa Jalla , sangat kuat mengikat diri mereka dengan-Nya dan sangat bergantung kepada-Nya, karena taufiq hanya di tangan Allâh Azza wa Jalla semata. Hubungan mereka dengan Allâh Azza wa Jalla baik dan ketergantungan mereka kuta. Mereka senantiasa meminta dan memohon pertolongan kepada-Nya agar diberikan keteguhan. Mereka mengikuti contoh dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak do’a Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Di antara do’a Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى

Ya Allâh! Aku Memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, kehormatan diri dan kecukupan

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berdo’a:

اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا، وَأَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا

Ya Allâh! Anugerahkanlah ketakwaan kepada jiwa-jiwa kami dan sucikanlah jiwa-jiwa kami,karena Engkau sebaik-baik Dzat yang bisa menyucikannya. Engkaulah walinya dan Penguasanya

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berdo’a:

اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِى دِينِىَ الَّذِى هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِى وَأَصْلِحْ لِى دُنْيَاىَ الَّتِى فِيهَا مَعَاشِى وَأَصْلِحْ لِى آخِرَتِى الَّتِى فِيهَا مَعَادِى وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِى فِى كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لِى مِنْ كُلِّ شَرٍّ

Ya Allâh! Perbaikilah untukku agamaku yang menjadi benteng urusanku! Perbaikilah untukku duniaku yang menjadi tempat kehidupanku! Perbaikilah bagiku akhiratku yang menjadi tempat kembaliku! Jadikanlah kehidupan ini mempunyai nilai tambah bagiku dalam segala kebaikan dan jadikanlah kematianku sebagai kebebasanku dari segala keburukan!

اللَّهُمَّ رَبَّ جَبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ، فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ، عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ، اهْدِنِي لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ، إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Ya Allâh! Rabb bagi Malaikat Jibril, Mikail dan Israfil, Pencipta langit dan bumi, Yang Mahamengetahui hal yang ghaib dan yang nampak, Engkaulah yang menetapkan keputusan diantara para hamba dalam berbagai hal yang mereka perselisihkan, berilah aku petunjuk untuk mengetahui kebenaran dalam hal-hal yang diperselisihkan dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau memberi petunjuk kepada siapa saja yang Engkau kehendaki untuk menuju jalan yang lurus

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ

Wahai Mahapembolak-balik hati! Teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu

اللَّهُمَّ اهْدِنَا فِيمَنْ هَدَيْتَ

Ya Allâh! Tunjukilah kami pada jalan orang-orang yang telah beri petunjuk kepada mereka

اللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِيْنَةِ الْإِيمَانِ وَاجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِيْنَ

Ya Allâh! Hiasilah kami dengan perhiasan iman dan jadikanlah kami sebagai pembimbing yang senantiasa mendapatkan petunjuk.[11]

(Itulah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , utusan Allâh Azza wa Jalla yang sudah pasti mendapatkan petunjuk dari Allâh Azza wa Jalla , namun Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memohon petunjuk kepada-Nya-red). Dan para pengikut Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berusaha mengikuti jalannya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka senantiasa bersandar kepada Allâh Azza wa Jalla, memohon petunjuk, keteguhan dan taufiq. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla memberikan taufik kepada mereka, menolong mereka dan menjaga mereka.

Kedekatan mereka kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala ini membuahkan keshalihan dalam ibadah dan keistiqamahan dalam akhlak. Oleh karena itu, diantara buah akidah yang benar itu tercermin pada amalan mereka. Ini adalah berkah, manfaat dan buah dari akidah yang benar. Begitu juga akidah yang menyimpang, dia memiliki pengaruh buruk kepada orang-orang yang meyakininya. Kerusakan akidah mereka diiringi dengan kerusakan amal dan prilaku.

Barangsiapa mengamati mereka, khususnya para tokoh kebathilan, niscaya dia akan dapati indikasi ini dengan jelas. Mereka tidak memiliki perhatian terhadap amal ibadah dan akhlak. Seandainya pun didapati diantara mereka ada yang memiliki sedikit perhatian, maka sungguh perhatian ahlussunnah jauh lebih besar dibandingkan perhatian mereka.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Ash-Shawâ’iqul Mursalah 2/741

[2] Majmû’ Fatâwâ 4/50

[3] Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam al-Jawâbul Kâfi, hlm. 198

[4] Ar-Raddu ’alâ Man Ankara al-Harfa wash Shaut, hlm. 99

[5] Syarh al-‘Aqîdatil Ashfahâniyah, hlm. 128

[6] Asy-Syarî’ah 1/301

[7] Ta’wîl Mukhtalifil Hadîts, hlm. 16

[8] Lihat syarah hadits ini dalam Fathul Bâri, 1/95

[9] Ighâtsatul Lahfân 1/201

[10] Mukhtashar Shawâ’iq, hlm. 518

[11] Kebanyak do’a-do’a ini ada pada kitab Shahîh Muslim, kecuali dua yang terakhir ada pada Musnad Imam Ahmad dan an-Nasa’i



Komentar

Postingan Populer