Cara Duduk Tasyahud, Iftirosy atau Tawarruk?
Cara Duduk Tasyahud, Iftirosy atau Tawarruk?
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi
kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Permasalahan ini adalah permasalahan fiqhiyah yang seringkali
diperdebatkan. Sebenarnya kita bisa saling tolelir dalam masalah ini jika
memang didukung oleh dalil yang sama-sama kuat. Namun demikian ada yang
menjadikan tata cara shalat semacam ini sebagai barometer ia ahlus sunnah
ataukah bukan. “Tasyahud akhir haruslah iftirosy jika shalatnya dua raka’at”,
inilah ciri ahlus sunnah. Demikianlah realita yang terjadi pada sebagian orang.
Padahal yang benar dalam masalah ini ada silang pendapat di kalangan para
ulama. Sehingga tidak tepat dikatakan bahwa tata cara tasyahud seperti tadi
adalah barometer ahlus sunnah atau bukan.
Ringkasnya, artikel ini akan mengkaji lebih jauh, manakah pendapat terkuat
dalam masalah ini. Apakah duduk tasyahud akhir pada shalat dua raka’at adalah
iftirosy atau tawaruk. Tentu saja kesimpulan yang diambil adalah dari pemahaman
dalil, bukan sekedar kata si A atau si B, juga didukung oleh kaedah fiqhiyah
yang tepat dan berbagai kalam ulama.
Dengan memohon taufik dan ‘inayah Allah, semoga bermanfaat.
Apa itu Duduk Tawarruk dan Duduk Iftirosy?
Duduk iftirosy adalah duduk dengan menegakkan kaki kanan dan membentangkan kaki kiri
kemudian menduduki kaki kiri tersebut.
Duduk tawarruk adalah duduk dengan menegakkan kaki kanan dan menghamparkan kaki kiri ke
depan (di bawah kaki kanan), dan duduknya di atas tanah/lantai.[1]
Sebagaimana yang sering kita lakukan, duduk iftirosy adalah duduk seperti
pada tasyahud awwal dan duduk antara dua sujud. Sedangkan duduk tawarruk adalah
duduk seperti pada tasyahud akhir pada shalat empat raka’at (seperti pada
shalat Zhuhur).
Perselisihan Ulama
Dalam masalah duduk tasyahud terdapat perselisihan pendapat di kalangan
para ulama. Perselisihan tersebut adalah sebagai berikut:
Pendapat pertama, yaitu pendapat Imam Malik dan pengikutnya,
duduk tasyahud baik awal dan akhir adalah duduk tawarruk. Hal ini sama antara pria dan wanita.
Pendapat kedua, yaitu pendapat Imam Abu Hanifah dan
pengikutnya, duduk tasyahud baik awal dan akhir adalah duduk iftirosy.
Pendapat ketiga, yaitu pendapat Imam Asy Syafi’i. Beliau
membedakan antara duduk tasyahud awal dan akhir. Untuk duduk tasyahud awal,
beliau berpendapat seperti Imam Abu Hanifah, yaitu duduk iftirosy. Sedangkan
untuk duduk tasyahud akhir, beliau berpendapat seperti Imam Malik, yaitu duduk
tawarruk. Jadi menurut pendapat ini, duduk pada tasyahud akhir yang terdapat
salam –baik yang shalatnya sekali atau dua kali tasyahud- adalah duduk
tawarruk. Duduk tawarruk terdapat pada setiap raka’at terakhir yang diakhiri
salam karena cara duduk demikian terdapat do’a, bisa jadi lebih lama duduknya.
Sehingga duduknya pun dengan cara tawarruk karena cara duduk seperti ini lebih
ringan dari iftirosy. Cara duduk demikianlah yang kita sering saksikan di kaum
muslimin Indonesia di sekitar kita yang banyak mengambil pendapat Imam Syafi’i.
Pendapat keempat, pendapat Imam Ahmad dan Ishaq. Jika tasyahudnya
dua kali, maka duduknya adalah tawarruk di raka’at terakhir. Namun jika
tasyahudnya cuma sekali, maka duduknya di raka’at terakhir adalah duduk
iftirosy.
Pendapat kelima, pendapat Ibnu Jarir Ath Thobari. Beliau
berpendapat duduk tasyahud dengan tawarruk maupun iftirosy, semuanya
dibolehkan. Alasannya karena semuanya diriwayatkan dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Jadi boleh memilih dengan dua cara duduk tersebut. Terserah
mau melakukan yang mana. Ibnu ‘Abdil Barr sendiri lebih cenderung pada pendapat
yang satu ini.[2]
Dalil Pendapat Pertama dan Kedua
Pendapat pertama: Imam Malik membangun pendapatnya berdasarkan hadits yang
shahih dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
إِنَّمَا سُنَّةُ الصَّلاَةِ أَنْ تَنْصِبَ رِجْلَكَ
الْيُمْنَى وَتَثْنِىَ الْيُسْرَى
“Sesungguhnya
sunnah ketika shalat (saat duduk) adalah engkau menegakkan kaki kananmu dan
menghamparkan (kaki) kirimu.”[3]
Dalil lain
yang digunakan adalah hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau
berkata,
عَلَّمَنِى
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- التَّشَهُّدَ فِى وَسَطِ الصَّلاَةِ وَفِى
آخِرِهَا فَكُنَّا نَحْفَظُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ حِينَ أَخْبَرَنَا أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَّمَهُ إِيَّاهُ – قَالَ – فَكَانَ يَقُولُ إِذَا
جَلَسَ فِى وَسَطِ الصَّلاَةِ وَفِى آخِرِهَا عَلَى وَرِكِهِ الْيُسْرَى
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan tasyahud kepadaku di pertengahan dan
di akhir shalat. Kami memperoleh dari Abdullah, ia memberitahukan pada kami
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan padanya. Ia berkata,
“Jika beliau duduk di tasyahud awwal dan tasyahud akhir, beliau duduk tawarruk
di atas kaki kirinya, lalu beliau membaca: …”[4]
Dalil di
atas menyebutkan duduk tawarruk baik di pertengahan shalat maupun di akhir
shalat.
Pendapat
kedua: Imam Abu Hanifah berdalil tentang duduknya iftirosy baik pada tasyahud
awwal dan akhir dengan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
وَكَانَ
يَقُولُ فِى كُلِّ رَكْعَتَيْنِ التَّحِيَّةَ وَكَانَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ
الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan tahiyyat pada setiap dua raka’at, dan
beliau duduk iftirosy dengan menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki
kanannya.”[5]
Juga
berdasarkan hadits Wail bin Hujr radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata,
رَأَيْتُ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ جَلَسَ فِيْ الصَّلاَةِ
افْتَرَشَ رِجْلَهُ اْليُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ اْليُمْنَى.
“Aku
melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika duduk dalam shalat,
beliau duduk iftirosy dengan menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki
kanannya.”[6]
Dalam
riwayat Tirmidzi, Wail bin Hujr berkata,
قَدِمْتُ
الْمَدِينَةَ قُلْتُ لأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- فَلَمَّا جَلَسَ – يَعْنِى – لِلتَّشَهُّدِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى
وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى يَعْنِى عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ
الْيُمْنَى
“Aku tiba
di Madinah. Aku berkata, “Aku benar-benar pernah melihat shalat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika beliau duduk yakni duduk tasyahud, beliau
duduk iftirosy dengan membentangkan kaki kirinya. Ketika itu, beliau meletakkan
tangan kiri di atas paha kiri. Beliau ketika itu menegakkan kaki kanannya.”[7]
Demikian
pula diriwayatkan dari Amir bin ‘Abdullah bin Zubair, dari ayahnya (‘Abdullah
bin Zubair) , ia berkata,
كاَنَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَلَسَ فِيْ
الرَّكْعَتَيْنِ ، افْتَرَشَ اْليُسْرَى ، وَنَصَبَ اْليُمْنَى
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam jika duduk pada dua raka’at, beliau duduk
iftirosy dengan membentangkan kaki yang kiri, dan menegakkan kaki kanannya.”[8]
Riwayat di
atas menyebutkan bahwa duduk iftirosy dilakukan di saat duduk ketika shalat,
baik di waktu tasyahud maupun duduk yang lainnya, dan baik di raka’at terakhir
atau di pertengahan.
Dalil
Pendapat Ketiga dan Keempat
Pendapat
ketiga (Imam Asy Syafi’i) dan pendapat keempat (Imam Ahmad), masing-masing
memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah kedua pendapat tersebut
menggabungkan seluruh riwayat yang menjelaskan tentang kedua jenis duduk
tersebut, yaitu duduk iftirosy dan juga duduk tawarruk. Sehingga semua dalil
yang dijadikan alasan oleh ulama Malikiyyah dan ulama Hanafiyyah sama-sama
diamalkan oleh Imam Ahmad dan juga Imam Asy Syafi’i. Mereka juga sepakat dalam
hal duduk tasyahud awwal, yaitu sama-sama iftirosy.
Sedangkan
perbedaan kedua pendapat tersebut adalah dalam menyikapi duduk akhir antara
shalat yang memiliki satu tasyahud dengan shalat yang memiliki dua tasyahud.
Jelaslah bahwa
untuk menyebutkan alasan dan dalil dari pendapat Imam Ahmad dan Imam Asy
Syafi’i adalah berdasarkan riwayat-riwayat yang shahih yang telah disebutkan
pada dua pendapat sebelumnya. Ditambah lagi ada hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dalam shahihnya dari Muhammad bin ‘Amr bin ‘Atha’ bahwa beliau
pernah duduk bersama beberapa orang dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Lalu kami pun menyebutkan tentang shalatnya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Kemudian Abu Humaid As-Sa’idi berkata,
أَنَا
كُنْتُ أَحْفَظَكُمْ لِصَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – رَأَيْتُهُ
إِذَا كَبَّرَ جَعَلَ يَدَيْهِ حِذَاءَ مَنْكِبَيْهِ ، وَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ
يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ ، ثُمَّ هَصَرَ ظَهْرَهُ ، فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ
اسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ ، فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ
يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلاَ قَابِضِهِمَا ، وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ
أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ ، فَإِذَا جَلَسَ فِى الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ
عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى ، وَإِذَا جَلَسَ فِى الرَّكْعَةِ
الآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى
مَقْعَدَتِهِ .
“Aku adalah
orang yang paling menghafal di antara kalian tentang shalat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku melihatnya tatkala bertakbir, beliau
menjadikan kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya. Jika ruku’, beliau
menetapkan kedua tangannya pada kedua lututnya, lalu meluruskan punggungnya.
Jika mengangkat kepalanya, beliau berdiri tegak hingga kembali setiap dari
tulang belakangnya ke tempatnya. Jika sujud, beliau meletakkan kedua tangannya
tanpa menidurkan kedua lengannya dan tidak pula melekatkannya (pada lambungnya)
dan menghadapkan jari-jari kakinya ke arah kiblat. Jika beliau duduk pada
raka’at kedua, maka beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan
(duduk iftirosy). Jika duduk pada raka’at terakhir, beliau mengedepankan kaki
kirinya dan menegakkan kaki yang lain (kaki kanan), dan duduk di atas lantai –
bukan di atas kaki kiri- (duduk tawarruk).”[9]
Mengenai
maksud “Jika duduk pada raka’at terakhir …”, Al Hafizh Ibnu Hajar berkata, ”Dan
dalam riwayat Abdul Hamid terdapat lafazh,
حَتَّى
إِذَا كَانَتِ السَّجْدَةُ الَّتِي يَكُوْنُ فِيْهَا التَّسْلِيْمُ.
“Sampai
jika pada raka’at yang terdapat padanya salam”. Dan dalam riwayat Ibnu Hibban,
الَّتِي
تَكُوْنُ خَاتِمَةُ الصَّلاَةِ أَخْرَجَ رِجْلَهُ اْليُسْرَى وَقَعَدَ
مُتَوَرِّكًا عَلَى شَقِّهِ اْلأَيْسَرِ.
“(Pada
raka’at) yang menjadi penutup shalat, maka beliau duduk tawarruk dengan
mengeluarkan kaki kiri dan duduk di atas sisi kirinya.”
Ditambah
oleh Ibnu Ishaq dalam riwayatnya,
ثُمَّ
سَلَّمَ
”Lalu
beliau mengucapkan salam”. Dan dalam riwayat ‘Isa dalam riwayat Ath Thahawi,
فَلَمَّا
سَلَّمَ سَلَّمَ عَنْ يَمِينه سَلَام عَلَيْكُمْ وَرَحْمَة اللَّه وَعَنْ شِمَاله
كَذَلِكَ
”Tatkala
mengucapkan salam, maka beliau salam ke sebelah kanannya “salaamun ‘alaikum
warahmatullah, dan ke sebelah kirinya pun seperti itu juga”. Dan dalam riwayat
Abu ‘Ashim dari ‘Abdul Hamid dalam riwayat Abu Daud dan selainnya, mereka
berkata -yaitu para shahabat yang disebutkan-,
صَدَقْت
، هَكَذَا كَانَ يُصَلِّي
“Engkau
telah benar, memang demikian beliau shalat.”
Dalam
riwayat Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa (192), terdapat lafazh,
حَتَّى
إِذَا كَانَتِ اْلقَعْدَةُ الَّتِي فِيْهَا اْلتَسْلِيْمُ أَخْرَجَ رِجْلَهُ
اْليُسْرَى وَجَلَسَ مُتَوَرِّكًا عَلَى شَقِّهِ اْلأَيْسَرِ.
“Sehingga
pada duduk yang terdapat salam (duduk tasyahud akhir), beliau menggeser kaki
kirinya dan duduk dan beliau duduk tawarruk di atas sisi kirinya.”
Dalam
riwayat Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya (1/297), dan Ahmad (5/424), terdapat
lafazh,
حَتَّى
إِذَا كَانَتِ الرَّكْعَةُ الَّتِي تَنْقَضِي فِيْهَا الصَّلاَةُ.
“Sehingga
pada raka’at yang diselesaikannya shalat padanya (raka’at terakhir)”.
Dalam
riwayat An Nasaai (1262), terdapat lafazh,
كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ
اللَّتَيْنِ تَنْقَضِي فِيهِمَا الصَّلَاةُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ
عَلَى شِقِّهِ مُتَوَرِّكًا ثُمَّ سَلَّمَ
“Jika Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk pada shalat dua raka’at yang diakhiri
dengan salam, beliau mengeluarkan kaki kirinya dan beliau duduk tawarruk di
sisi kiri.”
Menguatkan
Pendapat
Pendapat
pertama dan kedua memiliki kelemahan karena berpegang pada satu macam dalil dan
meninggalkan yang lainnya. Kedua pendapat ini disanggah oleh Ibnu Hazm
rahimahullah,
علي
وكلا القولين خطأ وخلاف للسنة الثابتة التي أوردنا
“Dan kedua
pendapat tersebut kurang tepat dan menyelisihi ajaran (Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam) yang telah kami sebutkan.”[10]
Ditambah
lagi kedua pendapat tersebut menyelisihi hadits Abu Humaid yang membedakan tata
cara duduk tasyahud awwal dan akhir. Lihat saja dalam hadits Abu Humaid
jelas-jelas terbedakan,
فَإِذَا
جَلَسَ فِى الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى
، وَإِذَا جَلَسَ فِى الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ
الأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ .
“Jika
beliau duduk pada raka’at kedua, maka beliau duduk diatas kaki kirinya dan
menegakkan kaki kanan (duduk iftirosy). Jika duduk pada raka’at terakhir,
beliau mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki yang lain (kaki kanan),
dan duduk di atas lantai – bukan di atas kaki kiri- (duduk tawarruk).”
Bagaimana
dengan Pendapat Imam Ahmad dan Imam Asy Syafi’i?
Abu Humaid
membedakan antara duduk di akhir shalat dengan duduk yang bukan di akhir
shalat. Tatkala beliau menjelaskan tentang duduk yang bukan akhir shalat, beliau
menyebutnya dengan lafazh “Jika beliau duduk pada raka’at kedua, maka beliau
duduk diatas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirosy)”. Dari
lafazh ini menunjukkan bahwa duduk iftirosy dilakukan di pertengahan shalat dan
bukan akhir shalat. Lafadz “dua raka’at” bukanlah maksud dari riwayat ini,
namun maksudnya adalah “raka’at yang bukan akhir shalat”. Alasannya adalah
sebagai berikut:
Pertama:
Lafazh setelahnya “Jika duduk pada raka’at terakhir” menunjukkan bahwa lafazh
sebelumnya bermakna “yang bukan raka’at terakhir”.
Kedua:
Mengambil pemahaman dari hadits bahwa yang dimaksud setiap yang shalatnya hanya
ada sekali tasyahud, adalah duduk iftirosy, ini termasuk pemahaman yang lemah.
Karena ini berarti berpegang pada mafhum ‘adad (penarikan kesimpulan dari suatu
bilangan). Dalil semacam ini dinilai lemah oleh sebagian ulama. Al-Hafidz Ibnu
Hajar mengatakan,
وَالتَّحْقِيقُ
أَنَّ دَلاَلَةَ مَفْهُوم الْعَدَدِ لَيْسَتْ يَقِيْنِيَّة إِنَّمَا هِيَ
مُحْتَمَلَةٌ
“Yang
tepat, pemahaman mafhum al-‘adad tidaklah yakin, namun hanya bersifat
kemungkinan”.[11]
Jika kita
telah memahami hal ini, maka penyebutan “dua raka’at” yang disebutkan dalam
hadits bukanlah maksud, namun maknanya adalah “duduk yang bukan raka’at
terakhir”. Hal ini semakin dikuatkan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
فَإِذَا
جَلَسْتَ فِي وَسَطِ الصَّلاَةِ فَاطْمَئِنَّ وَافْتَرِشْ فَخِذَكَ الْيُسْرَى
ثُمَّ تَشَهَّدْ
“Jika
engkau duduk di pertengahan shalat, maka lakukanlah dengan thuma’ninah,
duduklah iftirosy dengan menghamparkan paha kirimu -agar engkau duduk
diatasnya-, lalu lakukanlah tasyahhud”[12]
Hadits
berikut juga mendukung pendapat Imam Asy Syafi’i,
كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ
اللَّتَيْنِ تَنْقَضِي فِيهِمَا الصَّلَاةُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ
عَلَى شِقِّهِ مُتَوَرِّكًا ثُمَّ سَلَّمَ
“Jika Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk pada shalat dua raka’at yang diakhiri
dengan salam, beliau mengeluarkan kaki kirinya dan beliau duduk tawarruk di
sisi kiri.”[13] Di sini secara gamblang dikatakan bahwa beliau duduk tawarruk
pada tasyahud akhir shalat dua raka’at (artinya, hanya ada sekali tasyahud).
Adapun
hadits ‘Aisyah, Wail bin Hujr dan Abdullah bin Zubair, yang menjelaskan tentang
duduk iftirosy, di situ tidak disebutkan secara terperinci apakah duduk
tersebut dilakukan pada pertengahan ataukah pada akhir shalat, yang menunjukkan
bahwa hadits tersebut global dan tidak tafshil (terperinci). Jika kita beramal
berdasarkan keumuman duduk iftirosy dalam hadits tersebut, lalu bagaimana
dengan keumuman hadits ‘Abdullah bin ‘Umar yang menyebutkan duduk tawarruk
dalam shalat dan tidak merinci apakah duduk dipertengahan shalat ataukah di
akhir shalat?!
Jika ada
yang berkata, “Hadits Wail bin Hujr dan yang semisalnya menyebutkan cara duduk
pada shalat dua raka’at, yang menunjukkan keumuman setiap shalat dua raka’at.”
Kami
sanggah, “Hadits Ibnu ‘Umar lebih umum lagi, di mana Ibnu ‘Umar mengatakan
“sesungguhnya sunnahnya shalat (ketika duduk)” dan beliau tidak menyebutkan
raka’at ke berapa, dan shalatnya berapa raka’at. Jika Anda beramal dengan
keumuman hadits Wail dan yang semisalnya, maka amalkan pula hadits ‘Abdullah
bin ‘Umar secara umum, dengan duduk tawarruk pada setiap duduk ketika shalat.”
Demikian
pula, kita mengetahui bahwa shalat yang memiliki satu tasyahud bukan hanya
shalat yang berjumlah dua raka’at, namun di sana ada shalat yang berjumlah satu
raka’at saja, seperti shalat witir, ada pula shalat tiga rakaat dengan satu
tasyahhud, empat raka’at dengan satu tasyahhud, lima raka’at dengan satu
tasyahhud, tujuh raka’at di mana beliau duduk tasyahhud pada raka’at keenam dan
tidak salam, lalu bangkit menuju raka’at yang ketujuh lalu salam, sembilan
raka’at dan beliau duduk diraka’at yang kedelapan dan tidak salam, lalu
melanjutkan ke raka’at yang kesembilan lalu salam. Nah, bagaimana Anda
menyikapi shalat tersebut? Sementara shalat tersebut hanya menyebutkan shalat
yang “dua raka’at”. Namun jika kita memahaminya sebagaimana yang dipahami oleh
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, maka setiap permasalahan tentang tata cara duduk
tersebut dapat dipahami dengan baik berdasarkan hadits-hadits yang datang
menjelasakan tentang permasalahan ini.
Kesimpulan,
hadits Abu Humaid radhiyallahu ‘anhu adalah hadits yang menjelaskan tentang
tata cara shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada seluruh shalat,
apakah itu shalat yang memiliki satu tasyahhud, maupun yang memiliki dua tasyahhud.
Jika duduk dilakukan di pertengahan shalat, maka yang dilakukan adalah duduk
iftirosy, dan jika duduk dilakukan pada akhir shalat, maka yang dilakukan
adalah duduk tawarruk. Sedangkan selain hadits Abu Humaid merupakan hadits yang
bersifat umum (belum terperinci). Maka hadits yang bersifat global tersebut
semestinya dibawa kepada hadits Abu Humaid yang merinci dan menjelaskan.
Sebagaimana kaedah ini sudah diketahui bersama dalam kaedah ushul. Wallahul
muwaffiq.
Dari
kesimpulan ini juga menunjukkan lemahnya pendapat kelima yang mengatakan
bolehnya memilih duduk mana saja yang diinginkan.
Pendukung
dari Pendapat Ulama
Ibnu Hajar
rahimahullah mengatakan,
وَفِي
هَذَا الْحَدِيث حُجَّة قَوِيَّة لِلشَّافِعِيِّ وَمَنْ قَالَ بِقَوْلِهِ فِي
أَنَّ هَيْئَة الْجُلُوس فِي التَّشَهُّد الْأَوَّل مُغَايِرَة لِهَيْئَةِ
الْجُلُوس فِي الْأَخِير ، وَخَالَفَ فِي ذَلِكَ الْمَالِكِيَّة وَالْحَنَفِيَّة
فَقَالُوا : يُسَوِّي بَيْنهمَا ، لَكِنْ قَالَ الْمَالِكِيَّة : يَتَوَرَّك
فِيهِمَا كَمَا جَاءَ فِي التَّشَهُّد الْأَخِير ، وَعَكَسَهُ الْآخَرُونَ .
وَقَدْ قِيلَ فِي حِكْمَة الْمُغَايَرَة بَيْنهمَا أَنَّهُ أَقْرَب إِلَى عَدَم
اِشْتِبَاه عَدَد الرَّكَعَات ، وَلِأَنَّ الْأَوَّل تَعْقُبهُ حَرَكَة بِخِلَافِ
الثَّانِي ، وَلِأَنَّ الْمَسْبُوق إِذَا رَآهُ عَلِمَ قَدْر مَا سُبِقَ بِهِ ،
وَاسْتَدَلَّ بِهِ الشَّافِعِيّ أَيْضًا عَلَى أَنَّ تَشَهُّد الصُّبْح
كَالتَّشَهُّدِ الْأَخِير مِنْ غَيْره لِعُمُومِ قَوْلُهُ ” فِي الرَّكْعَة
الْأَخِيرَة ” ، وَاخْتَلَفَ فِيهِ قَوْل أَحْمَد ، وَالْمَشْهُور عَنْهُ
اِخْتِصَاص التَّوَرُّك بِالصَّلَاةِ الَّتِي فِيهَا تَشَهُّدَانِ
“Hadits ini
merupakan argumen yang kuat bagi Imam Asy Syafi’i dan yang sependapat dengannya
bahwa keadaan duduk pada tasyahud awwal berbeda dengan duduk pada tasyahud
terakhir. Ulama Malikiyyah dan Hanafiyyah menyelisihi hal tersebut dan
berpendapat bahwa duduk tasyahud awwal dan akhir itu sama. Ulama Malikiyyah
berpendapat, duduk tasyahud awwal dan akhir itu sama-sama tawarruk. Sedangkan
ulama Hanafiyyah berpendapat sebaliknya, keduanya sama-sama duduk iftirosy.
Ada yang
berpendapat bahwa mengapa berbeda antara tasyahud awwal dan akhir karena
hikmahnya adalah supaya bisa membedakan jumlah raka’at. Tasyahud awwal masih
ada gerakan setelah itu, sedangkan tasyahud akhir tidak demikian. Begitu pula
jika ada makmum masbuq (yang telat datang), maka ia dapat mengetahui berapa
raka’at yang telah dilakukan (oleh jama’ah). Imam Asy Syafi’i juga beralasan
bahwa duduk tasyahud ketika shalat Shubuh sama dengan keadaan tasyahud akhir
untuk shalat lainnya karena dalilnya umum yaitu disebutkan dalam hadits,
فِي
الرَّكْعَة الْأَخِيرَة
“Di raka’at
terakhir.”
Imam Ahmad
sendiri memiliki pendapat yang berbeda-beda. Namun yang masyhur dari beliau,
dikhususkan duduk tawarruk ketika tasyahud akhir pada shalat yang memiliki dua
kali tasyahud.”[14]
Yahya bin
Syarf An Nawawi rahimahullah berkata,
قال
الشافعي والاصحاب فحديث ابى حميد واصحابه صريح في الفرق بين التشهدين وباقى
الاحاديث مطلقة فيجب حملها علي موافقته فمن روى التورك اراد الجلوس في التشهد
الاخير ومن روى الافتراش اراد الاول وهذا متعين للجمع بين الاحاديث الصحيحة لا
سيما وحديث أبى حميد وافقه عليه عشرة من كبار الصحابة رضي الله عنهم والله أعلم
Imam Asy
Syafi’i dan pengikutnya berkata, “Hadits Abu Humaid dan para sahabatnya secata
tegas membedakan antara duduk tasyahhud awwal dan akhir. Sedangkan
hadits-hadits yang lainnya adalah hadits yang sifatnya mutlak. Sehingga wajib
untuk dipahami dengan hadits yang cocok dengannya. Hadits yang meriwayatkan
duduk tawarruk, yang dimaksud adalah duduk pada tasyahud akhir. Sedangkan
hadits yang meriwayatkan duduk iftirosy, yang dimaksud adalah tasyahud awwal.
Inilah cara yang tepat dilakukan untuk menggabungkan hadits-hadits yang shahih.
Terlebih lagi hadits Abu Humaid telah disetujui oleh sepuluh orang dari para
pembesar sahabat radhiyallahu anhum. Wallahu a’lam.”[15]
Al
Mubarakfuri rahimahullah berkata,
وَالْإِنْصَافُ
أَنَّهُ لَمْ يُوجَدْ حَدِيثٌ يَدُلُّ صَرِيحًا عَلَى اِسْتِنَانِ الْجُلُوسِ
عَلَى الرِّجْلِ الْيُسْرَى فِي الْقَعْدَةِ الْأَخِيرَةِ ، وَحَدِيثُ أَبِي
حُمَيْدٍ مُفَصَّلٌ فَلْيُحْمَلْ الْمُبْهَمُ عَلَى الْمُفَصَّلِ اِنْتَهَى
.
“Pendapat
yang lebih tepat, tidak didapatkan satu pun hadits yang menunjukkan secara
gamblang tentang disunnahkannya duduk di atas kaki kiri (duduk iftirasy) pada
duduk tasyahud terakhir. Hadits Abu Humaid jelas sudah terperinci. Sehingga
hadits yang bersifat global dibawa maknanya kepada yang terperinci.”[16]
Abuth
Thoyyib rahimahullah berkata,
وَفِي
حَدِيث أَبِي حُمَيْدٍ حُجَّة قَوِيَّة صَرِيحَة عَلَى أَنَّ الْمَسْنُون فِي
الْجُلُوس فِي التَّشَهُّد الْأَوَّل الِافْتِرَاش وَفِي الْجُلُوس فِي الْأَخِير
التَّوَرُّك وَهُوَ مَذْهَب الشَّافِعِيّ وَهُوَ الْحَقّ عِنْدِي وَاَللَّه
تَعَالَى أَعْلَم .
“Di dalam
hadits Abu Humaid, hadits tersebut merupakan argumen yang amat kuat dan tegas
bahwa yang disunnahkan pada duduk tasyahud awwal adalah iftirosy dan duduk
tasyahhud akhir adalah tawarruk. Inilah pendapat Imam Asy Syafi’i. Inilah yang
menurutku lebih tepat. Wallahu Ta’ala a’lam. ”[17]
Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan:
وَالتَّفْصِيلُ
الَّذِي ذَهَبَ إلَيْهِ أَحْمَدُ يَرُدُّهُ قَوْلُ أَبِي حُمَيْدٍ فِي حَدِيثِهِ
الْآتِي { فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الْأَخِيرَةِ } . وَفِي رِوَايَةٍ
لِأَبِي دَاوُد حَتَّى { إذَا كَانَتْ السَّجْدَةُ الَّتِي فِيهَا التَّسْلِيمُ
}
“Pendapat
yang dirinci oleh Imam Ahmad tertolak sendirinya dengan ucapan Abu Humaid dalam
haditsnya “jika duduk pada raka’at terakhir”, dan pada riwayat Abu Dawud
“hingga pada raka’at yang padanya terdapat salam”.[18]
Pendapat
Imam Asy Syafi’i ini dikuatkan pula oleh Ibnu Hazm rahimahullah. Ibnu Hazm
rahimahullah berkata,
فَفِيْ
الصَّلاَةِ أَرْبَعُ جَلَسَاتٍ : جِلْسَةُ بَيْنَ كُلِّ سَجْدَتَيْنِ, وَجِلْسَةُ
إِثْرِ السَّجْدَةِ الثَّانِيَّةِ مِنْ كُلِّ رَكْعَةٍ, وَجِلْسَةُ لِلتَّشَهُّدِ
بَعْدَ الرَّكْعَةِ الثَّانِيَّةِ, يَقُوْمُ مِنْهَا إِلىَ الثَّالِثَةِ فِيْ
اْلمَغْرِبِ, وَاْلحَاضِرُ فِيْ الظُّهْرِ وَاْلعَصْرِ وَاْلعِشَاءِ اْلآخِرَةِ,
وَجِلْسَةُ لِلتَّشَهُّدِ فِيْ آخِرِ كُلِّ صَلاَةٍ, يُسَلِّمُ فِيْ آخِرِهَا.
وَصِفَةُ جَمِيْعِ اْلجُلُوْسِ اْلمَذْكُوْرِ أَنْ يَجْعَلَ أَلِيْتِهِ اْليُسْرَى
عَلَى بَاطِنِ قَدَمِهِ اْليُسْرَى مُفَتَرِشًا لِقَدَمِهِ, وَيَنْصِبُ قَدَمَهُ
اْليُمْنَى ,رَافِعًا لِعَقِبِهَا,مُجَلِّسُا لَهَا عَلَى بَاطِنِ أَصَابِعِها,
إِلاَّ اْلجُلُوْس الّذِيْ يَلِي السَّلاَم مِنْ كُلِّ صَلاَةٍ, فَإِنَّ صِفَتَهُ
أَنْ يَفْضِيَ بِمَقَاعِدِهِ إِلىَ مَا هُوَ جَالِسٌ عَلَيْهِ, وَلاَ يَجْلِس
عَلىَ بَاطِنِ قَدَمِهِ فَقَطّ
“Di dalam
shalat ada empat keadaan duduk, yaitu duduk di antara dua sujud, duduk setelah
sujud kedua dari setiap raka’at (duduk istirahat, pen), duduk tasyahud setelah
raka’at kedua (bangkit menuju raka’at ketiga pada shalat maghrib, dan shalat
muqim [orang yang menetap, tidak bersafar] pada shalat Zhuhur, Ashar dan Isya),
dan duduk untuk tasyahud pada akhir setiap shalat yang dia mengucapkan salam
pada akhirnya. Tata cara semua duduk yang disebutkan adalah dengan menjadikan
bokong kirinya berada di atas telapak kaki kirinya dengan menidurkan kakinya
tersebut, menegakkan kaki kanan, mengangkat tumitnya mendudukkannya diatas
bagian dalam jari jemari (kakinya) tersebut (maksudnya, melakukan duduk
iftirasy, pen). Kecuali untuk duduk yang diikuti dengan salam dari setiap
shalat (duduk tasyahud akhir), maka caranya adalah dengan duduk di lantai, dan
bukan duduk di atas telapak kaki kirinya (maksudnya, melakukan duduk tawarruk,
pen).”[19]
Penutup
Pembahasan
ini menunjukkan bahwa pendapat terkuat
adalah yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i. Ketika tasyahud awal, duduknya
adalah iftirosy. Ketika tasyahud akhir –baik yang dengan sekali atau dua kali
tasyahud- adalah dengan duduk tawarruk. Demikian pendapat terkuat dari hasil
penelitian kami terhadap dalil-dalil yang ada.[20]
Semoga
pembahasan ini semakin memberikan pencerahan pada kaum muslimin. Sekali lagi
ini adalah masalah khilafiyah yang masih bisa kita saling toleransi. Sehingga
tidak tepat menjadikan masalah ini sebagai masalah manhajiyah, yang jadi
barometer seseorang ahlus sunnah ataukah bukan. Hanya Allah yang beri taufik.
Segala puji
bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Diselesaikan
di malam hari, 10 Syawal 1431 H (18/09/2010) di Panggang-GK
Penulis:
Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com
[1] Lihat
Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik, Al Maktabah At Taufiqiyah, 1/347.
[2] Lihat
Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd Al Maliki, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan
ketiga, 1428 H, hal. 129; Fathul Bari, Ibnu Rajab Al Hambali, Asy Syamilah,
6/69-70.
[3] HR.
Bukhari no. 827.
[4] HR.
Ahmad 1/459. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih,
namun sanad riwayat ini hasan. Namun sebagian ulama melemahkan hadits ini.
[5] HR.
Muslim no. 498.
[6] HR.
Ibnu Khuzaimah 1/343. Al A’zhomi mengatakan bahwa sanad riwayat ini shahih.
[7] HR.
Tirmidzi no. 292. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih.
[8] HR.
Ibnu Hibban 5/270. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad riwayat ini
qowi (kuat)
[9] HR.
Bukhari no. 828.
[10] Al
Muhalla, Ibnu Hazm, Mawqi’ Ya’sub, 4/127.
[11] Fathul
Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, 1379, 3/122
[12] HR.
Abu Daud no. 860. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[13] HR. An
Nasai no. 1262. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[14] Fathul
Bari, 2/309.
[15] Al
Majmu’, Yahya bin Syarf An Nawawi, Mawqi’ Ya’sub, 3/451.
[16]
Tuhfatul Ahwadzi, Abul ‘Ala Al Mubarakfuri, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, 2/156.
[17] ‘Aunul
Ma’bud, Aabadi Abuth Thoyyib, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan kedua, 1415,
3/171.
[18] Nailul
Author, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, Mawqi’ Al Islam, 4/15.
[19] Al
Muhalla, 4/125.
[20]
Tulisan ini banyak terinspirasi dari tulisan Ustadz Abu Karimah Askari bin
Jamal –semoga Allah selalu memberkahi beliau dalam kebaikan- pada link http://kuliahsyariah.multiply.com/journal/item/197.
Komentar
Posting Komentar