Tata Cara Sujud Tilawah
[Pertama] Para ulama bersepakat bahwa sujud tilawah cukup dengan sekali sujud.
[Kedua] Bentuk sujudnya sama dengan sujud dalam shalat.
[Ketiga] Tidak disyari’atkan -berdasarkan pendapat yang paling kuat- untuk
takbiratul ihram dan juga tidak disyari’atkan untuk salam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
وَسُجُودُ الْقُرْآنِ لَا يُشْرَعُ فِيهِ تَحْرِيمٌ وَلَا
تَحْلِيلٌ : هَذَا هُوَ السُّنَّةُ الْمَعْرُوفَةُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ عَامَّةُ السَّلَفِ وَهُوَ الْمَنْصُوصُ عَنْ
الْأَئِمَّةِ الْمَشْهُورِينَ
“Sujud
tilawah ketika membaca ayat sajadah tidaklah disyari’atkan untuk takbiratul
ihram, juga tidak disyari’atkan untuk salam. Inilah ajaran yang sudah ma’ruf
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga dianut oleh para ulama salaf, dan
inilah pendapat para imam yang telah masyhur.” (Majmu’ Al Fatawa, 23/165)
[Keempat] Disyariatkan pula untuk bertakbir
ketika hendak sujud dan bangkit dari sujud. Hal ini berdasarkan keumuman hadits
Wa-il bin Hujr, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengangkat kedua
tangannya ketika bertakbir. Beliau pun bertakbir ketika sujud dan ketika
bangkit dari sujud.” (HR. Ahmad, Ad Darimi, Ath Thoyalisiy. Hasan)
[Kelima] Lebih utama sujud tilawah dimulai
dari keadaan berdiri, ketika sujud tilawah ingin dilaksanakan di luar shalat.
Inilah pendapat yang dipilih oleh Hanabilah, sebagian ulama belakangan dari
Hanafiyah, salah satu pendapat ulama-ulama Syafi’iyah, dan juga pendapat
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Dalil
mereka adalah:
إِذَا
يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ سُجَّداً
“Sesungguhnya
orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Qur’an dibacakan
kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud.” (QS. Al
Isro’: 107). Kata mereka, yang namanya yakhirru (menyungkur) adalah dari
keadaan berdiri.
Namun, jika
seseorang melakukan sujud tilawah dari keadaan duduk, maka ini tidaklah
mengapa. Bahkan Imam Syafi’i dan murid-muridnya mengatakan bahwa tidak ada
dalil yang mensyaratkan bahwa sujud tilawah harus dimulai dari berdiri. Mereka
mengatakan pula bahwa lebih baik meninggalkannya. (Shahih Fiqih Sunnah, 1/449)
Apakah
Disyariatkan Sujud Tilawah (Di Luar Shalat) Dalam Keadaan Suci (Berwudhu)?
Mayoritas
ulama berpendapat bahwa dalam sujud tilawah disyari’atkan untuk berwudhu
sebagaimana shalat. Oleh karena itu, para ulama mensyariatkan untuk bersuci
(thoharoh) dan menghadap kiblat dalam sujud sahwi sebagaimana berlaku
syarat-syarat shalat lainnya.
Namun,
ulama lain yaitu Ibnu Hazm dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa
tidak disyari’atkan untuk thoharoh karena sujud tilawah bukanlah shalat. Namun
sujud tilawah adalah ibadah yang berdiri sendiri. Dan diketahui bahwa jenis
ibadah tidaklah disyari’atkan thoharoh. Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu
‘Umar, Asy Sya’bi dan Al Bukhari. Pendapat kedua inilah yang lebih tepat.
Dalil dari
pendapat kedua di atas adalah hadits dari Ibnu ‘Abbas. Beliau radhiyallahu
‘anhuma mengatakan,
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ سَجَدَ بِالنَّجْمِ وَسَجَدَ مَعَهُ
المُسْلِمُوْنَ وَالمُشْرِكُوْنَ وَالجِنُّ وَالأِنْسُ
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan sujud tilawah tatkala membaca
surat An Najm, lalu kaum muslimin, orang-orang musyrik, jin dan manusia pun
ikut sujud.” (HR. Bukhari)
Al Bukhari
membawa riwayat di atas pada Bab “Kaum muslimin bersujud bersama orang-orang
musyrik, padahal kaum musyrik itu najis dan tidak memiliki wudhu.” Jadi,
menurut pendapat Bukhari berdasarkan riwayat di atas, sujud tilawah tidaklah
ada syarat berwudhu. Dalam bab tersebut, Al Bukhari juga membawakan riwayat
bahwa Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berwudhu dalam keadaan tidak berwudhu.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sujud tilawah ketika membaca ayat sajadah
tidaklah disyari’atkan untuk takbiratul ihram, juga tidak disyari’atkan untuk
salam. Inilah ajaran yang sudah ma’ruf dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
juga dianut oleh para ulama salaf, dan inilah pendapat para imam yang telah
masyhur. Oleh karena itu, sujud tilawah tidaklah seperti shalat yang memiliki
syarat yaitu disyariatkan untuk bersuci terlebih dahulu. Jadi, sujud tilawah
diperbolehkan meski tanpa thoharoh (bersuci). Hal ini sebagaimana dilakukan
oleh Ibnu ‘Umar. Beliau pernah bersujud, namun tanpa thoharoh. Akan tetapi
apabila seseorang memenuhi persyaratan sebagaimana shalat, maka itu lebih
utama. Jangan sampai seseorang meninggalkan bersuci ketika sujud, kecuali ada
udzur.” (Majmu’ Al Fatawa, 23/165)
Asy
Syaukani mengatakan, “Tidak ada satu hadits pun tentang sujud tilawah yang
menjelaskan bahwa orang yang melakukan sujud tersebut dalam keadaan berwudhu.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersujud dan di situ ada
orang-orang yang mendengar bacaan beliau, namun tidak ada penjelasan kalau Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan salah satu dari yang mendengar tadi
untuk berwudhu. Boleh jadi semua yang melakukan sujud tersebut dalam keadaan
berwudhu dan boleh jadi yang melakukan sujud bersama orang musyrik sebagaimana
diterangkan dalam hadits yang telah lewat. Padahal orang musyrik adalah orang
yang paling najis, yang pasti tidak dalam keadaan berwudhu. Al Bukhari sendiri
meriwayatkan sebuah riwayat dari Ibnu ‘Umar bahwa dia bersujud dalam keadaan
tidak berwudhu. ” (Nailul Author, 4/466, Asy Syamilah)
Apakah
Sujud Tilawah Mesti Menghadap Kiblat?
Asy
Syaukani rahimahullah mengatakan, “Adapun menutup aurat dan menghadap kiblat,
maka ada ulama yang mengatakan bahwa hal itu disyariatkan berdasarkan
kesepakatan ulama.” (Nailul Author, 4/467, Asy Syamilah)
Namun
karena sujud tilawah bukanlah shalat, maka tidak disyari’atkan untuk menghadap
kiblat. Akan tetapi, yang lebih utama adalah tetap dalam keadaan menghadap
kiblat dan tidak boleh seseorang meninggalkan hal ini kecuali jika ada udzur.
Jadi, menghadap kiblat bukanlah syarat untuk melakukan sujud tilawah. (Lihat
Shahih Fiqih Sunnah, 1/450)
Bagaimana
Tata Cara Sujud Tilawah bagi Orang yang Sedang Berjalan atau Berkendaraan?
Siapa saja
yang membaca atau mendengar ayat sajadah sedangkan dia dalam keadaan berjalan
atau berkendaraan, kemudian ingin melakukan sujud tilawah, maka boleh pada saat
itu berisyarat dengan kepalanya ke arah mana saja. (Shahih Fiqih Sunnah, 1/450
dan lihat pula Al Mughni)
وَعَنِ
ابْنِ عُمَرَ : أَنَّهُ سُئِلَ عَنِ السُّجُودِ عَلَى الدَّابَةِ فَقَالَ :
اسْجُدْ وَأَوْمِئْ.
Dari Ibnu ‘Umar:
Beliau ditanyakan mengenai sujud (tilawah) di atas tunggangan. Beliau
mengatakan, “Sujudlah dengan isyarat.” (Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dengan
sanad yang shahih)
Bacaan
Ketika Sujud Tilawah
Bacaan
ketika sujud tilawah sama seperti bacaan sujud ketika shalat. Ada beberapa
bacaan yang bisa kita baca ketika sujud di antaranya:
Pertama:
Dari Hudzaifah, beliau menceritakan tata cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan ketika sujud beliau membaca:
سُبْحَانَ
رَبِّىَ الأَعْلَى
“Subhaana
robbiyal a’laa” [Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi] (HR. Muslim no. 772)
Kedua: Dari
‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a ketika ruku’ dan
sujud:
سُبْحَانَكَ
اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى
“Subhaanakallahumma
robbanaa wa bi hamdika, allahummagh firliy.” [Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb
kami, dengan segala pujian kepada-Mu, ampunilah dosa-dosaku] (HR. Bukhari no.
817 dan Muslim no. 484)
Ketiga:
Dari ‘Ali bin Abi Tholib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sujud
membaca:
اللَّهُمَّ
لَكَ سَجَدْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَلَكَ أَسْلَمْتُ سَجَدَ وَجْهِى لِلَّذِى خَلَقَهُ
وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ تَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ
الْخَالِقِينَ
“Allahumma
laka sajadtu, wa bika aamantu wa laka aslamtu, sajada wajhi lilladzi kholaqohu,
waepada-Mu lah aku bersujud, karena-Mu aku beriman,
kepada-Mu aku berserah diri. Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang
Membentuknya, yang Membentuk pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allah
Sebaik-baik Pencipta] (HR. Muslim no. 771)
Adapun
bacaan yang biasa dibaca ketika sujud tilawah sebagaimana tersebar di berbagai
buku dzikir dan do’a adalah berdasarkan hadits yang masih diperselisihkan
keshohihannya. Bacaan tersebut terdapat dalam hadits berikut:
1. Dari
‘Aisyah, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
membaca dalam sujud tilawah di malam hari beberapa kali bacaan:
سَجَدَ
وَجْهِى لِلَّذِى خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ تَبَارَكَ
اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
“Sajada
wajhi lilladzi kholaqohu, wa showwarohu, wa syaqqo sam’ahu, wa bashorohu.
Tabarakallahu ahsanul kholiqiin.” [Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang
Membentuknya, yang Membentuk pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allah
Sebaik-baik Pencipta] (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan An Nasa-i)
2. Dari
Ibnu ‘Abbas, dia berkata bahwa ada seseorang yang pernah mendatangi Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku melihat
diriku sendiri di malam hari sedangkan aku tertidur (dalam mimpi). Aku
seakan-akan shalat di belakang sebuah pohon. Tatkala itu aku bersujud, kemudian
pohon tersebut juga ikut bersujud. Tatkala itu aku mendengar pohon tersebut
mengucapkan:
اللَّهُمَّ
اكْتُبْ لِى بِهَا عِنْدَكَ أَجْرًا وَضَعْ عَنِّى بِهَا وِزْرًا وَاجْعَلْهَا لِى
عِنْدَكَ ذُخْرًا وَتَقَبَّلْهَا مِنِّى كَمَا تَقَبَّلْتَهَا مِنْ عَبْدِكَ
دَاوُدَ
“Allahummaktub
lii bihaa ‘indaka ajron, wa dho’ ‘anniy bihaa wizron, waj’alhaa lii ‘indaka
dzukhron, wa taqqobbalhaa minni kamaa taqobbaltahaa min ‘abdika dawuda”. (HR.
Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Kedua
hadits di atas terdapat perselisihan ulama mengenai statusnya. Untuk hadits
pertama dikatakan shahih oleh At Tirmidzi, Al Hakim, An Nawawi, Adz Dzahabi,
Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Syaikh Al Albani dan Syaikh Salim bin ‘Ied Al
Hilali. Sedangkan tambahan “Fatabaarakallahu ahsanul kholiqiin” dishahihkan
oleh Al Hakim, Adz Dzahabi dan An Nawawi. Namun sebagian ulama lainnya semacam
guru dari penulis Shahih Fiqih Sunnah, gurunya tersebut bernama Syaikh Abi
‘Umair dan menilai bahwa hadits ini lemah (dho’if).
Sedangkan
hadits kedua dikatakan hasan oleh At Tirmidzi. Menurut Al Hakim, hadits kedua
di atas adalah hadits yang shahih. Adz Dzahabi juga sependapat dengannya.
Sedangkan
ulama lainnya menganggap bahwa hadits ini memang memiliki syahid (penguat),
namun penguat tersebut tidak mengangkat hadits ini dari status dho’if (lemah).
Jadi, intinya kedua hadits di atas masih mengalami perselisihan mengenai
keshahihannya. Oleh karena itu, bacaan ketika sujud tilawah diperbolehkan
dengan bacaan sebagaimana sujud dalam shalat seperti yang kami contohkan di
atas.
Imam Ahmad
bin Hambal -rahimahullah- mengatakan,
أَمَّا
أَنَا فَأَقُولُ سُبْحَانَ رَبِّي الْأَعْلَى
“Adapun
(ketika sujud tilawah), maka aku biasa membaca: Subhaana robbiyal a’laa” (Al
Mughni, 3/93, Asy Syamilah)
Dan di antara
bacaan sujud dalam shalat terdapat pula bacaan “Sajada wajhi lilladzi
kholaqohu, wa showwarohu, wa syaqqo sam’ahu, wa bashorohu. Tabarakallahu
ahsanul kholiqiin”, sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Ali yang diriwayatkan
oleh Muslim. Wallahu a’lam.
-bersambung
insya Allah-
Artikel www.rumaysho.com
Muhammad
Abduh Tuasikal
Komentar
Posting Komentar