Tata Cara Sujud Sahwi
TATA CARA SUJUD SAHWI
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Sujud sahwi adalah suatu istilah untuk dua sujud yang dikerjakan oleh orang
yang shalat, fungsinya untuk menambah celah-celah yang kurang dalam shalatnya
karena lupa.
Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang harus mengerjakan sujud sahwi ada
tiga macam : penambahan, pengurangan dan ragu-ragu
1. Penambahan
Apabila seorang yang shalat menambah shalatnya, baik menambah berdiri,
duduk, rukuk atau sujud secara sengaja, maka shalatnya batal (tidak sah). Jika
dia melakukannya karena lupa dan dia tidak ingat bahwa dia telah menambah
shalatnya hingga selesai shalat, maka dia tidak terkena beban apa pun kecuali
hanya mengerjakan sujud sahwi, sedangkan shalatnya tetap sah. Tetapi jika dia
telah menyadari adanya tambahan tersebut di saat dia masih mengerjakan shalat,
maka dia wajib kembali kepada posisi yang benar, lalu mengerjakan sujud sahwi,
dan shalatnya tetap sah.
Sebagai contoh
Ada seseorang telah mengerjakan shalat dzuhur 5 (lima) rakaat, tetapi dia
baru mengingatnya kembali setelah posisi tasyahud (akhir), maka dia harus
menyempurnakan tasyahudnya (terlebih dahulu), lalu salam, kemudian baru sujud
sahwi dan salam lagi.
Jika dia baru mengingatnya kembali setelah salam, maka dia harus segera
mengerjakan sujud sahwi dan salam lagi. Tetapi jika dia mengingatnya di saat
masih mengerjakan rakaat yang ke lima, maka dia harus segera duduk pada saat
itu juga, lalu bertasyahud dan salam, kemudian sujud sahwi dan salam lagi.
Dalilnya ada hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu [1]
أَنَّ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الضُّهْرَ خَمْسًا، فَقِيْلَ
لَهُ : أَزِيْدَ فِي الصَّلاَةِ؟ فَقَالَ (وَمَا ذَاكَ؟) قَالُوْا : صَلَيْتَ
خَمسًا، فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ بَعْدَمَا سَلَّمَ. وَفِي رِوَايَةٍ : فَثَنَى
رِجْلَيْهِ وَاسْتَقْبَلَ القِبْلَةَ فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَز (رواه
الجماعة)
“Sesungguhnya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat dzuhur 5 (lima) rakaat. Maka
ada yang bertanya kepada beliau : “Apakah shalat sengaja ditambah? Beliau
menjawab : “Memangnya apa yang terjadi?” Kemudian mereka (para sahabat)
menjawab: “Anda telah mengerjakan shalat (dzuhur) lima rakaat. “Maka beliau
langsung sujud dua kali kemudian salam”
Dalam
riwayat lain disebutkan : “Maka beliau langsung melipat kedua kakinya dan
menghadap kiblat, kemudian sujud dua kali dan salam” [HR Al-Jama’ah] [2]
Salam
Sebelum Sempurna Shalat
Salam
sebelum sempurna (selesai) shalat, juga termasuk penambahan dalam shalat [3].
Oleh karena itu, apabila seorang yang shalat dengan sengaja salam sebelum
selesai shalat, maka shalatnya batal.
Jika dia
mengerjakannya karena lupa dan dia baru mengingatnya kembali setelah rentang
waktu yang lama, maka dia harus mengulangi shalatnya.
Tetapi jika
dia telah mengingatnya kembali hanya dalam rentang waktu beberapa saat saja,
seperti dua atau tiga menit, maka dia hanya perlu menyempurnakan shalatnya saja
dan salam, kemudian baru sujud sahwi dan salam lagi.
Dalilnya
adalah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِهِمُ الظُّهْرَ أَوِ الْعَصْرَ فَسَلَّمَ مِنْ
رَكْعَتَيْنِ، فَخَرَجَ السُّرْ عَانِ مِنْ أَبْوَابِ الْمَسجِدِ يَقُوْلُوْنَ
:قُصِرَتِ الصَّلاَةُ،وَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى
خَشَبَة فِي الْمَسْجِدِ فَاتَّكَاَّ عَلَيْهَا كَأَنَّسهُ غَضْبَانٌ، فَقَاْمَ
رَجُلٌ فَقَالَ : يَارَسُوْلَ اللَّهِ، أَنَسِيْتَ أَم قُصِِرَتِ الصَّلاَةُ؟
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (لَمْ أَنْسَ وَلَمْ تُقْصَرُ)
فَقَالَ الرَّجُلُ : بَلَى قَدْ نَسِيْتَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلصَّحَا بَةِ : (أَحَقُّ مَايَقُوْلُ؟) قَالُوْا : نَعَمْ،
فَتَقَدَّمَ النَّبِيْيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى مَابَقِيَ
مِنْ صَلاَ تِهِ ثُمَّ سَلَّمَ، ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَ تَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ. (متفق عليه)
“Sesungguhnya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat zhuhur atau ashar bersama para
sahabatnya. Tetapi baru dua rakaat, beliau telah salam. Maka orang-orangpun
bergegas keluar dari pintu-pintu masjid seraya mengatakan : “Shalat telah
diqashar (diringkas)”. Sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan
berjalan mendekati sebatang kayu yang berada di dalam masjid, lalu beliau
menyandarkan diri kepadanya seakan-akan beliau sedang marah. (Melihat hal itu),
maka ada seorang laki-laki lalu berdiri seraya mengatakan : Wahai Rasulullah,
apakah engkau lupa atau memang sengaja mengqashar shalat? Beliau menjawab: “Aku
tidak lupa dan tidak pula berniat mengqasharnya”. Laki-laki tadi menegaskan :
“Benar, sungguh Anda telah lupa”. Kemudian beliau menanyakan hal itu kepada
para sahabatnya yang lain: “Benarkah apa yang dikatakannya?” Mereka menjawab
:benar. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian maju ke depan, lalu
beliau menyempurnakan rakaat shalat yang belum dikerjakannya kemudian salam.
Selanjutnya beliau sujud dua kali kemudian salam lagi” [Mutafaqun Alaihi] [4]
Apabila
seorang imam telah salam sebelum sempurna shalatnya, sedangkan di antara para
makmum ada orang-orang yang masbuk (belum mengerjakan beberara raka’at
shalatnya), maka mereka harus bangkit untuk menyempurnakan shalatnya yang
tertinggal tadi. Namun bila kemudian imam tersebut ingat kembali bahwa
shalatnya kurang lengkap, lalu dia bangkit untuk menyempurnakan shalatnya, dalam
kondisi seperti ini, maka bagi para makmum yang telah menyempurnakan shalatnya
yang tertinggal tadi diberikan dua pilihan. Dia boleh berasumsi bahwa mereka
telah menyempurnakan shalatnya, lalu hanya mengerjakan sujud sahwi atau mereka
kembali bersama imam dan mengikutinya lagi. (Jika pilihan kedua ini yang mereka
pilih), maka bila imam telah salam lagi, mereka harus kembali lagi
menyempurnakan shalatnya yang tertinggal tadi, kemudian setelah salam baru
mengerjakan sujud sahwi. Hal ini lebih utama dan lebih berhati-hati
2. Pengurangan
Pengurangan
dalam mengerjakan shalat ada beberapa macam, di antaranya adalah sebagai
berikut:
A.
Kekurangan Rukun-Rukun Dalam Shalat
Apabila
seorang yang shalat mengurangi (tidak mengerjakan) salah satu rukun shalat, jika
yang kurang tadi adalah takbiratul ihram, maka tidak ada shalat baginya, baik
ketika dia meninggalkannya karena sengaja maupun karena lupa, sebab shalatnya
belum dianggap dimulai.
Jika yang
kurang tadi bukan takbiratul ihram, dia sengaja meninggalkannya, maka shalatnya
batal.
Tetapi jika
dia meninggalkannya karena lupa, bila dia telah sampai pada rakaat kedua maka
dia harus membiarkan rukun shalat yang tertinggal tadi dan mengerjakan rakaat
berikutnya sebagaimana posisinya. Tetapi jika dia belum sampai pada rakaat
kedua, maka dia wajib mengulangi kembali rukun shalat yang tertinggal tadi,
kemudian menyempurnakannya dan rukun-rukun setelahnya. Dalam kedua kondisi ini,
maka dia wajib mengerjakan sujud sahwi setelah salam.
Sebagai
contoh.
Misalnya
seorang lupa tidak mengerjakan sujud kedua pada rakaat pertama, kemudian dia
baru mengingatnya pada saat dia sedang duduk di antara dua sujud pada rakaat
kedua, maka dia harus membiarkan rakaat pertama yang telah dikerjakannya tadi
lalu melanjutkan rakaat kedua sebagaimana mestinya. Sedangkan rakaat yang telah
dia kerjakan tadi, telah dianggap sebagai rakaat pertama dan dia tinggal
menyempurnakan shalatnya. Setelah itu salam, dilanjutkan sujud sahwi dan salam
lagi.
Kasus lain.
Misalnya
seseorang lupa tidak mengerjakan sujud kedua dan duduk sebelum sujud pada
rakaat pertama, kemudian dia baru mengingatnya kembali setelah berdiri dari
rukuk (I’tidal) pada rakaat kedua, maka dia harus kembali duduk dan sujud,
kemudian baru menyempurnakan shalatnya dan salam. Kemudian sujud sahwi dan
salam lagi.
B.
Adanya Kekurangan Dalam Hal-Hal Yang Diwajibkan Dalam Shalat
Apabila
seorang yang shalat dengan sengaja tidak mengerjakan salah satu dari hal-hal
yang diwajibkan dalam shalat, maka shalatnya batal.
Jika dia
mengerjakannya karena kelupaan, kemudian dia baru mengingatnya kembali sebelum
mengerjakan kewajiban kewajiban shalat yang lainnya, maka dia harus
menyempurnakan kewajiban yang kelupaan tadi dan dia tidak terkena beban apapun.
Jika dia
baru mengingatnya kembali setelah tidak pada posisinya tetapi belum sampai pada
rukun shalat berikutnya, maka dia harus kembali dan mengerjakan kewajiban
shalat yang terlupakan tadi, kemudian baru menyempurnakan shalatnya dan salam.
Setelah itu hendaknya dia bersujud sahwi dan salam lagi.
Tetapi jika
dia baru mengingatnya setelah sampai pada rukun shalat berikutnya, maka
gugurlah dan dia tidak boleh kembali untuk mengerjakan rakaat yang terlupakan
tadi, kemudian dia diharuskan melanjutkan shalatnya dan mengerjakan sujud sahwi
sebelum salam.
Sebagai
contoh
Misalnya
seseorang langsung bangkit dari sujud kedua pada rakaat kedua untuk mengerjakan
rakaat ketiga karena lupa (tidak ingat) tasyahud awal, tetapi kemudian dia
mengingatnya sebelum berdiri, maka dia harus tetap duduk dan mengerjakan
tasyahud awal, kemudian menyempurnakan shalatnya dan dia tidak terkena beban
apapun.
Jika dia
baru mengingatnya kembali setelah bangkit, tetapi belum sampai berdiri dengan
sempurna, maka dia harus kembali, lalu duduk dan mengerjakan tasyahud, kemudian
menyempurnakan shalatnya dan salam. Kemudian sujud sahwi dan salam lagi.
Tetapi jika
dia baru mengingatnya kembali setelah berdiri dengan sempurna, maka gugurlah
kewajiban baginya untuk mengerjakan tasyahud yang terlupakan tadi dan dia tidak
boleh kembali untuk mengerjakan tasyahud tersebut. Selanjutnya dia hanya
tinggal menyempurnakan shalatnya dan mengerjakan sujud sahwi sebelum salam.
Dalilnya
adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan lain-lainnya [5]
dari Abdullah bin Buhainah Radhiyallahu a’nhu.
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِهِمُ الظُّهْرَ فَقَامَ فِي
الرَّكْعَتَيْنِ الأُو لَيَيْنِ وَلَم يَجْلِسْ (للِتَّشَهُدِ اْللأَوَّل) فَقَامَ
النَّاسَ مَعَهُ حَتَّى إِذَا قَضَى الصَلاَةَ وَانْتَظَرَ النَّاسُ تَسْلِيمَهُ
كَبَّرَ وَهُوَ جَالِسُ فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ ثُمَّ
سَلَّمَ
“Sesungguhnya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat zhuhur bersama para sahabat,
kemudian beliau langsung berdiri pada rakaat kedua yang pertama dan beliau
tidak duduk (yakni tasyahud awal), maka orang-orang pun juga ikut berdiri
bersama beliau hingga shalat usai. Kemudian semua orang menunggu-nunggu beliau
salam, tetapi beliau bertakbir lagi padahal beliau sedang duduk, kemudian
beliau bersujud dua kali sebelum salam, kemudian setelah itu baru beliau salam”
3.
Ragu-Ragu
Asy-Syak
adalah keraguan antara dua perkara, mana diantara keduanya yang benar.
Ragu-ragu
yang tidak perlu dihiraukan dalam semua ibadah adalah dalam tiga kondisi.
1. Apabila keraguan
itu hanya berupa angan-angan belaka yang tidak nyata, seperti perasaan was-was.
2. Apabila
seseorang sering sekali dihinggapi perasaan ragu-ragu, sehingga setiap kali dia
ingin melaksanakan suatu ibadah pasti akan ragu-ragu.
3. Apabila
keragu-raguan itu muncul setelah melaksanakan suatu ibadah. Maka dia tidak
perlu menghiraukan perasaan ragu-ragu tersebut selama perkaranya belum jelas
dan dia harus mengerjakan sesuai dengan apa yang diyakininya.
Sebagai
contoh
Misalnya
seseorang telah mengerjakan shalat zhuhur. Tetapi setelah selesai mengerjakan
shalat dia merasa ragu-ragu, apakah dia shalat tiga rakaat atau empat rakaat.
Maka dia tidak perlu menggubris perasaan ragu-ragu ini kecuali bila dia telah
merasa yakin bahwa dia memang shalat tiga rakaat. Apabila dia tahu bahwa
shalatnya tiga rakaat, maka dia harus menyempurnakan shalatnya jika rentang
waktu (dengan shalatnya tadi) masih berdekatan, lalu salam, kemudian sujud
sahwi dan salam lagi. Tetapi jika dia baru mengingatnya kembali setelah terpaut
waktu yang lama, maka dia harus mengulangi kembali shalatnya.
Sedangkan
merasa ragu selain dalam tiga kondisi tersebut, maka perlu dipertimbangkan
(diperhatikan).
Ragu-ragu
dalam shalat tidak akan terlepas dari dua kondisi dibawah ini.
1. Dia bisa
menentukan salah satu yang lebih rajih (kuat/benar) di antara dua perkara, maka
dia harus mengerjakan apa yang menurutnya lebih rajih tersebut, kemudian
menyempurnakan shalatnya dan salam, kemudian sujud sahwi dan salam lagi.
Sebagai
contoh
Misalnya
seseorang sedang mengerjakan shalat zhuhur, kemudian dia merasa ragu-ragu dalam
salah satu rakaatnya, apakah ia berada di rakaat kedua atau ketiga. Jika
perkiraannya lebih condong bahwa itu rakaat ketiga, maka dia harus
menganggapnya sebagai rakaat ketiga dan setelah itu dia tinggal menambah satu
rakaat lagi dan salam, kemudian sujud sahwi dan salam lagi.
Dalilnya
adalah sebuah hadits yang disebutkan dalam Ash-Shahahain dan yang lain, dari
hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda.
إِذَا ثَكَّ أَحَدُكُمْ قِي
صَلاَتِهِ فَلْيَتَحَرَّ الصَّوَابَ فَلْيُتِمَّ عَلَيْهِ، ثُمَّ لِيُسَلِّمْ،
ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ (هذا لَفظ البخاري)
“Apabila
salah seorang di antara kalian merasa ragu dalam shalatnya, maka hendaklah dia
menentukan sendiri yang menurutnya benar, lalu menyempurnakan dengan pilihannya
tadi dan salam, kemudian sujud dua kali” [Ini adalah lafazh Al-Bukhari] [6]
2. Dia
tidak bisa menentukan salah satu yang lebih rajih di antara dua perkara
tersebut, maka minimal dia mengerjakan sesuai dengan apa yang diyakininya.
Kemudian menyempurnakan shalatnya sesuai dengan yang diyakininya tadi, lalu
sebelum salam sujud sahwi, kemudian baru salam.
Sebagai
contoh.
Misalnya
seseorang sedang mengerjakan shalat Ashar, kemudian dia merasa ragu dalam salah
satu rakaat, apakah itu rakaat kedua atau ketiga dan dia tidak memiliki
perkiraan yang paling mungkin, rakaat kedua atau ketiga. Maka dia harus
menganggapnya sebagai rakaat kedua, kemudian mengerjakan tasyahud awal, dan
setelah itu dia tinggal mengerjakan dua rakaat lagi, kemudian sujud sahwi dan
salam.
Dalilnya
adalah sebuah hadits yangb diriwayatkan oleh Muslim [7] dari Abu Abu Sa’id
Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda.
إِذَا ثَكَّ أَحَدُكُمْ فِي
صَلاَتِهِ فَلَمِ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلاَثًا أَمْ أََرْبَعًا؟فَلْيَطْرَحِ
الشَّكَ وَلْيَبْنِ عَلَى مَااسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ
يُسَلِّمَ، فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًاشَفَعْنَ لَهُ صَلاَتُهُ، وَإِنْ كَانَ
صَلَّى إِتْمَامًالأَِرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيْمًا لِلشَّيْطَانِ
“Apabila
salah seorang di antara kalian merasa ragu dalam shalatnya dan dia tidak tahu
berapa rakaat dia shalat, tiga atau empat rakaat, maka hendaknya dia membuang
keraguan tersebut dan hendaknya dia mengerjakan sesuai dengan apa yang
diyakininya, kemudian sujud dua kali sebelum salam. Jika dia ternyata shalat
lima rakaat, maka shalatnya tersebut akan menjadi syafaat baginya, sedangkan
jika ternyata dia shalat tepat empat rakaat, maka kedua sujudnya bisa membuat
marah syetan”.
Sebagai
contoh.
Apabila
seseorang datang, sedangkan imam baru mengerjakan rukuk, maka dia harus segera
mengerjakan takbiratul ihram dan bediri dengan sempurna, kemudian baru rukuk.
Pad saat seperti itu, maka dia tidak akan terlepas dari tiga kondisi.
1. Dia
benar-benar merasa yakin bahwa dia telah mendapatkan rukuk bersama imam sebelum
imam tersebut bangkit dari rukuknya, sehingga dia dikategorikan telah mendapat
satu rakaat dan gugur kewajiban membaca surat al-fatihah.
2. Dia
benar-benar merasa yakin bahwa imam tersebut telah bangkit dari rukuknya
sebelum dia mendapatkannya, sehingga dia dikategorikan tidak mendapatkan rakaat
tersebut
3. Dia
merasa ragu-ragu, apakah dia telah mendapatkan rukuk bersama imam sehingga dia
dikategorikan telah mendapatkan satu rakaat atau imam tersebut telah bangkit
dari rukuknya sebelum dia menjumpainya, sehingga dia dikategorikan tidak
mendapatkan satu rakaat. Jika dia bisa menentukan mana yang lebih rajih antara
dua perkara tersebut, maka dia harus mengerjakan sesuai dengan apa yang
menurutnya lebih rajah tadi, lalu menyempurnakan shalatnya dan salam, kemudian
sujud sahwi dan salam lagi. Kecuali jika dia tidak meninggalkan salah satu dari
hal-hal yang diwajibkan dalam shalat, maka dia tidak perlu mengerjakan sujud
sahwi.
Jika dia
tidak bisa menentukan mana yang lebih rajah antara kedua perkara tersebut, maka
dia harus mengerjakan sesuai dengan apa yang diyakininya (yakni dia tidak
mendapatkan rakaat tersebut), lalu dia harus menyempurnakan shalatnya dan sujud
sahwi sebelum salam, kemudian baru salam.
Faedah
Apabila
seseorang merasa ragu-ragu dalam shalatnya, maka dia harus mengerjakan sesuai
dengan apa yang diyakininya atau yang menurutnya lebih rajih sebagaimana yang
telah dijelaskan secara mendetail di atas. Namun bila akhirnya dia yakin bahwa
apa yang dikerjakannya itu ternyata sesuai dengan kenyataan, tidak menambah
ataupun mengurangi, maka menurut pendapat madzhab yang popular dia telah gugur
kewajiban (tidak perlu lagi) mengerjakan sujud sahwi karena factor yang
mengharuskan dia harus mengerjakan sujud sahwi yaitu keragu-raguan sudah tidak
ada lagi.
Tetapi ada
pula yang berpendapat bahwa dia belum gugur mengerjakan sujud sahwi untuk
membuat syetan marah, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
وَإِنْ كَانَ صَلَّى
إِتْمَامًالأَِرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيْمًا لِلشَّيْطَانِ
“..
Sedangkan jika ternyata shalatnya tepat empat rakaat, maka kedua sujud tersebut
membuat marah syetan” [8]
Disamping
itu, karena ada sebagian dari shalatnya yang dikerjakan dengan perasaan
ragu-ragu. Inilah pendapat yang lebih rajih (kuat).
Sebagai
contoh.
Misalnya
seseorang sedang mengerjakan shalat, kemudian timbullah keraguan dalam salah
satu rakaatnya, apakah ia dalam rakaat kedua atau ketiga? Karena dia tidak bisa
menentukan mana yang lebih rajih antara kedua perkara tersebut, maka dia
menganggapnya sebagai rakaat yang kedua, lalu dia menyempurnakan shalatnya.
Namun akhirnya jelaslah baginya bahwa itu memang benar-benar rakaat kedua, maka
menurut pendapat madzhab yang popular, dia tidak wajib sujud sahwi, sedangkan
menurut pendapat kedua yang menurut kami lebih rajih hendaknya dia mengerjakan
sujud sahwi sebelum salam.
[Disalin
dari buku Tata Cara Sujud Sahwi, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin, Penerjemah Mutsanna Abdul Qohhar, Penerbit Pustaka At-Tibyan. Jl.
Kyai Mojo 58, Solo, 57117]
________
Footnote
[1]. HR
Mutafaqun Alaih. Al-Bukhari meriwayatkannya dalam (kitab) As-Shalah, bab : maa
ja’a fie al-qiblah, (404) yang redaksionalnya sangat pendek, dan pada hadits
(401) redaksionalnya sangat panjang, dalam (kitab) As-Sahwi (1227) dan juga
dalam pembahasan-pembahasan lainnya. Sedangkan imam Muslim meriwayatkannya
dalam kitab Al-Masajid, bab : As-Sahwi fie Ash-Shalah (91) dan (572).
[2]. Para
perawi al-Jama’ah lainnya : Abu Dawud meriwayatkannya dalam (kitab) Ash-Shalah,
bab : Idza shalla khamsan, (2019) dan (1020), At-Tirmidzi meriwayatkannya dalam
bab : maa ja’a fie sajdatai as-sahwi ba’da as-salam wa al-kalam (392).
An-Nasaa-i meriwayatkannya dalam ; As-Sahwi, bab : At-Taharry (III/33), (1242)
dan 1243), dan Ibnu Majah dalam Iqamah ash-Shalah, bab : ma ja’a fiiman syakka
fie shalatihi (1211).
[3]. Hal
ini juga dikategorikan menambah dalam shalat karena ia telah menambah salam
pada saat dia masih mengerjakan shalat.
[4].
Al-Bukhari meriwayatkannya dalam : Ash-Shalah, bab : Tasybik al-Ashabi’ fie
al-Masjid wa Ghairihi, (482) redaksionalnya sangat pendek, (714) dan (715)
dalam : As-Sahwi (1226) dan dalam pembahasan-pembahasan lainnya. Sedangkan imam
Muslim meriwayatkannya dalam Al-Masajid, bab : As-Sahwu fie ash-Shalat (97) dan
(573).
[5]. HR
Al-Bukhari : Al-Adzan bab : man lam yara at-Tasyahud wajiban..(829), dalam :
As-Sahwi (1223,1225) dan dalam pembahasan-pembahasan lainnya. Sedangkan imam
Muslim meriwayatkannya dalam Al-Masajid, bab : As-Sahwu fii ash-Shalah (85) dan
(570)
[6]. HR
Al-Bukhari dalam : Ash-Shalah, bab : At-Tawajjuh Nahwa Al-Qiblah (401) dan
Muslim dalam Al-Masajid, bab : As-Sahwu fie ash-Shalah (89) dan (572)
[7]. HR
Muslim dalam :Al-Masajid, bab As-Sahwu fie ash-Shalah, (88) dan (571).
Komentar
Posting Komentar