Duduk di antara Dua Sujud & Gerakan Setelahnya
Duduk di antara Dua Sujud & Gerakan Setelahnya
Mar 3, 2013 | Asy Syariah Edisi 085, Seputar Hukum Islam |
1. Duduk dengan thuma’ninah
Ketika duduk di antara dua sujud, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
mengajarkan untuk thuma’ninah, duduk dengan tenang dan batasannya adalah
gerakan sebelumnya tidak tampak lagi (Fathul Bari, 2/357).
Beliau melakukan duduk ini dengan lama hingga mendekati lama sujudnya
sebagaimana ditunjukkan dalam hadits al-Barra ibnu ‘Azib radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata,
كاَنَ رُكُوْعُ
رَسُوْلِ اللهِ ، وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ ، وَسُجُوْدُهُ، وَمَا
بَيْنَ السَّجَدَتَيْنِ قَرِيْبًا مِنَ السَّوَاءِ.
“Adalah
ruku’ Rasulullah n , mengangkat kepalanya (bangkit) dari ruku’, sujud, dan
duduk di antara dua sujudnya, hampir sama lamanya.” (HR . al-Bukhari no. 792,
820 dan Muslim no. 1057)
Terkadang
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam duduk sangat lama, sebagaimana
dicontohkan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang dikabarkan oleh Tsabit
al-Bunani, murid Anas radhiyallahu ‘anhu. Disebutkan bahwa Anas berkata, “Aku
akan shalat di hadapan kalian sebagaimana tata cara yang pernah aku lihat dari
Rasulullah n saat shalat di hadapan kami.”
Kata
Tsabit, “Dalam shalat tersebut (yang dicontohkan/diajarkan kepada kami) Anas
melakukan sesuatu yang aku tidak pernah melihat kalian melakukannya. Bila ia
bangkit dari ruku’, ia berdiri lurus (lama) hingga ada orang yang berkata,
‘Sungguh ia lupa.’ Bila ia duduk di antara dua sujud (dalam riwayat Muslim: dan
bila ia mengangkat kepalanya dari sujud), ia diam lama, hingga ada yang
berkata, ‘Sungguh ia lupa’.” (HR . al-Bukhari no. 821 dan Muslim no. 1060)
Al-Imam
Ibnul Qayyim rahimahullah mmengatakan, sunnah ini telah ditinggalkan banyak
orang setelah berlalunya masa sahabat, karena itulah Tsabit pernah berkata,
“Anas melakukan sesuatu yang aku tidak pernah melihat kalian melakukannya. Ia
duduk lama saat duduk di antara dua sujud hingga kami berkata, ‘Anas lupa’.”
(Zadul Ma’ad, 1/60—61)
Di saat
duduk di antara dua sujud ini, disenangi meletakkan kedua tangan di atas kedua paha dekat dengan kedua lutut,
siku berada di atas paha, sedangkan ujung jari di atas lutut dalam keadaan
jari-jemari ini agak direnggangkan dan dihadapkan ke arah kiblat. (al-Majmu’,
3/415, Zadul Ma’ad, 1/60)
Amalan
duduk di antara dua sujud dan thuma’ninah dalam pelaksanaannya hukumnya wajib
menurut pendapat yang rajih (kuat) dan ini merupakan pendapat kebanyakan/jumhur
ulama, menyelisihi pendapat Abu Hanifah yang mengatakan tidak wajib. Dalilnya
adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, kepada orang yang salah
shalatnya,
“Kemudian
angkat kepalamu (dari sujud) hingga engkau duduk tenang.” Diriwayatkan oleh
al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sedangkan Abu Dawud dan
at-Tirmidzi meriwayatkannya dari Rifa’ah ibnu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu.
(al-Majmu’, 3/418)
2. Zikir-zikir
Di saat
duduk di antara dua sujud ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, pernah
membaca zikir dan doa di bawah ini.
1. Bacaan:
اللَّهُمَّ
(وَفِي لَفْظٍ: رَبِّ) اغْفِرْ لِي، وَارْحَمْنِي،
(وَاجْبُرْنِي)، (وَارْفَعْنِي)، وَاهْدِنِي، (وَعَافِنِي)
وَارْزُقْنِي
“Ya Allah
(dalam satu lafadz: Wahai Rabbku), ampunilah aku, rahmatilah aku, [perbaikilah
aku]2, [angkatlah derajatku]3, berilah petunjuk kepadaku, [hapuskanlah
dosaku]4, dan berilah rezeki kepadaku.”
Hadits Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang dikeluarkan Abu Dawud no. 850, at- Tirmidzi no.
284, Ibnu Majah no. 898, al-Hakim 1/262, 271, al-Baihaq 2/122, Ahmad 1/315,
371, dll. Hadits ini sahih sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam Albani t dalam
Shahih Kutubus Sunan.
Menurut
al-Imam an-Nawawi rahimahullah dalam al-Majmu’ (3/415), yang lebih hati-hati
seluruh lafadznya diucapkan, yaitu ada tujuh kalimat sebagaimana disebutkan di
atas.
2. Bacaan:
رَبِّ
اغْفِرْ لِي، رَبِّ اغْفِرْ لِي.
“Wahai
Rabbku, ampunilah aku. Wahai Rabbku, ampunilah aku.”
Hadits
Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu ini dikeluarkan oleh Ibnu Majah no. 897, dan
dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan Ibni Majah serta Irwa’ul Ghalil no. 335.
Sujud yang
Kedua
Setelah
bertakbir, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, kembali bersujud (sujud
kedua dalam shalat) dengan tata cara, ketentuan, dan bacaan yang telah
disebutkan dalam pembahasan sujud (sujud yang pertama). Ulama sepakat tentang
wajibnya sujud yang kedua ini, berdalil haditshadits yang sahih lagi masyhur
dan ijma’/kesepakatan kaum muslimin. (al- Majmu’, 3/418)
Bangkit
dari Sujud
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam, mengangkat kepala dari sujudnya dan bertakbir
untuk melanjutkan ke rakaat kedua. Apa saja yang dilakukan pada rakaat pertama
juga diulang lagi pada rakaat kedua. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
bersabda kepada orang yang salah shalatnya,
ثُمَّ
اصْنَعْ ذلِكَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ وَ سَجْدَةٍ. فَإِذَا فَعَلْتَ ذلِكَ, فَقَدْ
تَمَّتْ صَلاَتُكَ، وَإِنِ انْتَقَصْتَ مِنْهُ شَيْئًا, اِنْتَقَصْتَ مِنْ
صَلاَتِكَ.
“Kemudian
lakukanlah hal tersebut pada setiap ruku’ dan sujud. Apabila kamu lakukan hal
itu, sungguh telah sempurna shalatmu. Jika ada sesuatu yang kamu kurangi,
berarti kamu mengurangi shalatmu.” (HR . at-Tirmidzi no. 302, 303, dinyatakan
sahih dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)
Duduk
Istirahat dan Bangkit Berdiri
Sebelum
bangkit berdiri untuk melanjutkan ke rakaat berikutnya, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam, duduk tegak sejenak di atas kaki kiri beliau, hingga setiap
tulang kembali pada posisinya. Hal ini ditunjukkan dalam hadits Malik ibnul
Huwairits radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
أَلآ أُحَدِّثُكُمْ
عَنْ صَلاَةِ رَسُوْلِ اللهِ؟ فَصَلَّى
فِي غَيْرِ وَقْتِ صَلاَةٍ. فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ السَّجْدَةِ
الثَّانِيَةِ فِي أَوَّلِ رَكْعَةٍ، اسْتَوَى قَاعِدًا، ثُمَّ قَامَ فَاعْتَمَدَ
عَلَى الْأَرْضِ.
“Maukah aku
gambarkan kepada kalian cara shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam?”
Lalu Malik shalat di luar waktu shalat6. Tatkala ia mengangkat kepalanya dari
sujud yang kedua pada rakaat yang awal, ia duduk tegak. Kemudian baru bangkit
dengan bertumpu di atas tanah. (HR . asy-Syafi’i dalam al-Umm no. 198,
an-Nasa’i no. 1153, dan al-Baihaqi 2/124,125. Sanadnya sahih di atas syarat
Syaikhani sebagaimana disebutkan dalam al-Irwa 2/82)
Dalam riwayat al-Bukhari (no. 824) disebutkan
Malik ibnul Huwairits radhiyallahu ‘anhu mencontohkan shalat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada orang-orang. Ketika Ayyub, salah seorang
perawi hadits ini, bertanya kepada Abu Qilabah, syaikhnya yang menyampaikan
hadits ini dari Malik radhiyallahu ‘anhu, tentang bagaimana cara shalat yang
dicontohkan Malik, maka kata Abu Qilabah seperti shalat yang dilakukan syaikh
kita ‘Amr ibnu Salamah, dia menyempurnakan takbir, dan bila mengangkat
kepalanya dari sujud yang kedua, ia duduk dan bertumpu di atas bumi/tanah,
kemudian baru bangkit berdiri.
Dalam
hadits yang sebelumnya (no. 823) disebutkan Abu Qilabah bahwa Malik ibnul
Huwairits radhiyallahu ‘anhu memberitakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam tidak bangkit ke rakaat kedua hingga beliau duduk tegak (HR . Bukhari
no. 823)
Diriwayatkan
pula duduk istirahat ini dari Abu Humaid as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu. Adapun
penyebutan duduk ini sebagai duduk istirahat, asalnya dari para fuqaha.
(al-Irwa, 2/82)
Perbedaan
Pendapat dalam Masalah Ini
Memang ada
silang pendapat dalam masalah duduk istirahat dan bangkit berdiri dengan
bertumpu di atas kedua tangan ini.
Pertama:
Sunnah secara mutlak. Ini adalah pendapat al-Imam asy-Syafi’i, Abu Dawud, dan
Ahmad rahimahumullah. (al-Muhalla, 3/40)
Al-Imam
Syafi’i rahimahullah menyatakan, orang yang bangkit dari sujud atau duduk dalam
shalat untuk bertumpu dengan kedua tangannya secara bersama-sama dalam rangka
mengikuti sunnah, karena hal ini lebih mendekati sikap tawadhu dan lebih
membantu orang yang shalat. (al-Umm, kitab ash-Shalah, bab “al- Qiyam minal
Julus”)
Ibnu Hani
dalam Masailnya dari al- Imam Ahmad t mengatakan (1/57),
“Aku
melihat Abu Abdillah (yakni al- Imam Ahmad) kerap kali bertumpu di atas kedua
tangannya ketika bangkit ke rakaat berikutnya. Kerap kali beliau duduk tegak,
kemudian bangkit.”Ibnu Hazm rahimahullah menganggap duduk istirahat ini
mustahab dilakukan sebelum bangkit ke rakaat kedua dan keempat. (al-Muhalla,
3/39)
Al-Imam
at-Tirmidzi rahimahullah setelah membawakan hadits dalam bab “Kaifa an-Nuhudh
minas Sujud” (artinya: bagaimana tata cara bangkit/berdiri dari sujud) pada
kitab Sunannya mengatakan, “Hal ini diamalkan oleh sebagian ahlul ilmi.
Teman-teman kami, para ulama hadits, juga berpendapat seperti ini.” Setelah
membawakan hadits riwayat al-Bukhari dalam bab “Man Istawa Qa’idan fi Witrin
min Shalatihi Tsumma Nahadha” (no. 823 yang telah dibawakan di atas), al-Hafizh
Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah dalam penjelasannya menyatakan bahwa duduk
istirahat ini disyariatkan, bukan karena hajat/ada kebutuhan. Tidak ada zikir
khusus yang dibaca saat duduk ini, karena duduknya hanya sebentar sehingga
ucapan takbir yang disyariatkan saat berdiri sudah cukup. (Fathul Bari 2/391)
Kedua:
Tidak sunnah secara mutlak. Mereka berdalil dengan beberapa hadits, di
antaranya:
• Hadits
Wail ibnu Hujr radhiyallahu ‘anhu, ia menyampaikan saat bangkit ke rakaat
berikutnya, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, bangkit di atas kedua
lutut beliau dan bersandar di atas paha beliau.” (HR . Abu Dawud no. 839, namun
riwayat ini dhaif/lemah. Dinyatakan dhaif oleh al-Imam an- Nawawi t dalam
al-Majmu’ 3/422. Demikian pula dalam al-Irwa no. 363)
• Hadits
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam bangkit dalam shalat (bertumpu) di atas bagian dalam kedua telapak
kaki beliau.” (HR . at- Tirmidzi no. 288, namun haditsnya dhaif sebagaimana
disebutkan dalam al-Irwa no. 362)
Ketiga:
Pendapat yang merinci. Jika duduk ini dibutuhkan karena fisik yang lemah, usia
senja, sakit, dan yang semisalnya, dia duduk dahulu lalu bangkit. Namun,
apabila tidak dibutuhkan, ia tidak duduk. Alasannya, dalam duduk ini tidak ada
doa/zikir yang dibaca dan tidak ada takbir perpindahan, yang ada hanya satu
takbir, yaitu takbir dari sujud ke berdiri. Karena sebelum dan sesudahnya tidak
ada takbir, dan tidak ada pula zikir yang diucapkan, hal ini menunjukkan duduk
ini tidaklah dimaksudkan sebagai bentuk amalan/gerakan yang disyariatkan dalam
shalat sebagaimana gerakan lainnya. Tentang hadits Malik ibnul Huwairits
radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan Nabi n bersandar di atas kedua tangan
beliau saat bangkit berdiri, mereka menyatakan bersandar pada kedua tangan
umumnya karena ada kebutuhan dan karena tubuh yang berat sehingga tidak bisa
bangkit terkecuali harus ada tumpuan.
Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Qudamah radhiyallahu ‘anhu
sebagai wujud pengumpulan dalil yang menetapkan dan dalil yang meniadakan duduk
ini. Pendapat yang merinci seperti ini memiliki kekuatan argumen daripada
pendapat yang kedua, wallahu ‘alam.
Menurut
pendapat yang ketiga ini, apabila orang yang shalat butuh duduk sebelum bangkit
ke posisi berdiri, ia duduk dan apabila ia butuh tumpuan ia bisa bertumpu
dengan kedua tangannya, bagaimana pun caranya, apakah bertumpunya di atas
punggung jarijemari, seluruh jari-jemari, atau yang lain, tanpa ada tata cara
tertentu. Yang penting, dilakukan apabila dibutuhkan. Apabila tidak dibutuhkan,
tidak dilakukan.
(Majmu’
Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh al-Imam Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin,
13/182)
Asy-Syaikh
Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin rahimahullah menyatakan, dalam masalah ini
didapatkan tiga tingkatan kekuatan argumen (yang awal lebih kuat dari yang
setelahnya. –pen.):
1. Apabila
ada kebutuhan, disyariatkan melakukan duduk seperti ini. Tentang hal ini, tidak
ada permasalahan.
2.
Disyariatkan duduk seperti ini secara mutlak, ada kebutuhan ataupun tidak.
Pendapat ini memiliki kekuatan argumen atau bisa dianggap kuat.
3. Tidak
disyariatkan secara mutlak, maka ini pendapat yang lemah, karena hadits yang
menyebutkan duduk ini tsabit/kokoh, akan tetapi yang jadi permasalahan apakah
tsabitnya karena ada kebutuhan ataukah secara mutlak? Inilah yang menjadi
pembahasan. (Majmu’ Fatawa wa Rasail, 13/383—385)
Dari tiga
pendapat di atas, sebagaimana telah kami isyaratkan sebelumnya dalam subjudul
Duduk Istirahat dan Bangkit Berdiri, pendapat yang lebih kuat adalah yang
pertama karena tidak ada berita yang tsabit/kuat yang menentang sunnah ini,
meskipun orang yang tidak mengerjakannya dalam shalatnya juga tidak diingkari.
Adapun menjawab pendapat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya
karena ada kebutuhan, dijawab bahwa anggapan seperti ini tidak boleh dipakai
untuk menolak sunnah yang sahih. Apalagi duduk istirahat ini telah diriwayatkan
oleh sejumlah sahabat yang mencapai lebih dari sepuluh orang. Kalau memang
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya karena ada kebutuhan,
bukan karena sunnah, bagaimana bisa hal tersebut tersembunyi bagi para sahabat
yang mulia tersebut. Lebih-lebih lagi, di antara mereka ada Malik ibnul
Huwairits radhiyallahu ‘anhu yang
menyampaikan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,,
صَلُّوا
كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Shalatlah
kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”
Al-Imam
an-Nawawi rahimahullah berkata, “Adapun hadits Wail ibnu Hujr radhiyallahu ‘anhu
(yang telah dibawakan di atas), kalaupun sahih, wajib dipahami (kepada makna
yang) menyepakati hadits lain yang menetapkan duduk istirahat. Sebab, dalam
hadits Wail tidak disebutkan secara nyata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam meninggalkan duduk istirahat. Kalau pun ada secara nyata, niscaya
hadits Malik ibnul Huwairits, Abu Humaid, dan para sahabat lebih didahulukan daripada hadits Wail
radhiyallahu ‘anhu, dari dua sisi:
a.
Sanad-sanadnya sahih.
b. Banyak
perawinya. Bisa jadi, Wail radhiyallahu ‘anhu melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam shalat dalam satu waktu atau beberapa
waktu untuk
menerangkan bolehnya hal tersebut. Namun, yang sering beliau lakukan adalah apa
yang diriwayatkan oleh orang-orang yang lebih banyak. Yang lebih memperkuat
adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, kepada Malik ibnul Huwairits
radhiyallahu ‘anhu setelah ia shalat bersama beliau dan menghafal ilmu dari beliau selama dua
puluh hari lantas ingin pulang kepada keluarganya,
اذْهَبُوا
إِلَى أَهْلِيْكُمْ، وَمُرُوْهُمْ وَعَلِّمُوْهُمْ وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي
أُصَلِّي
“Pulanglah
kalian kepada keluarga kalian, perintahlah dan ajarilah mereka. Shalatlah
kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat!”
Semua ini
ada dalam Shahih al-Bukhari dari beberapa jalan. Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam mengatakan demikian kepada Malik sedangkan Malik telah menyaksikan
Nabi n duduk istirahat. Seandainya duduk istirahat ini tidak termasuk amalan
yang disunnahkan bagi setiap orang, niscaya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
tidak memutlakkan ucapan beliau, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat
aku shalat.” (al-Majmu’, 3/422)
Beliau menyatakan, “Perlu diketahui, sepantasnya
bagi setiap orang untuk terus melakukan duduk ini (dalam shalatnya) karena
sahihnya hadits-hadits tentang duduk ini dan tidak ada riwayat sahih yang
menentangnya. Janganlah tertipu dengan banyaknya orang yang bermudah-mudah
meninggalkannya (mutasahilin). Allah Subhanahu wata’ala sungguh berfirman,
قُلْ
إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ
لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
ڃ
ڃڃ
‘Katakanlah,
jika memang kalian mencintai Allah maka ikutilah aku niscaya Allah akan
mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.’ (Ali Imran: 31)
Firman-Nya,
وَمَا
آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ
‘Apa saja
yang dibawa Rasul kepada kalian, maka ambillah….’ ( al-Hasyr: 7).” (al-Majmu’,
3/420—421)
Fatwa
al-Lajnah ad-Daimah
Al-Lajnah
ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyyah yang saat itu diketuai oleh Samahatusy Syaikh
Ibnu Baz rahimahullah ketika ditanya tentang masalah duduk istirahat. Mereka
berfatwa sebagai berikut. Ulama sepakat bahwa duduk setelah mengangkat kepala
dan tubuh dari sujud yang kedua pada rakaat pertama dan ketiga serta sebelum
bangkit ke rakaat kedua dan keempat, bukanlah amalan yang termasuk kewajiban
shalat, bukan pula sunnah yang ditekankan (mu’akkadah) dalam shalat. Ulama
berbeda pendapat setelah itu, apakah duduk ini sunnah saja, atau bukan termasuk
gerakan shalat sama sekali, atau boleh dilakukan oleh orang yang membutuhkannya
karena tubuh yang lemah karena usia, sakit, atau kegemukan?
Al-Imam
asy-Syafi’i rahimahullah dan sekelompok ahlul hadits berpandangan sunnah. Ini
juga merupakan salah satu riwayat dari dua riwayat al-Imam Ahmad rahimahullah.
Dasar mereka adalah hadits Malik ibnul Huwairits radhiyallahu ‘anhu. Namun,
banyak ulama, di antaranya Abu Hanifah rahimahullah dan Malik rahimahullah,
tidak memandang adanya duduk ini, demikian pula satu riwayat al-Imam Ahmad
rahimahullah.Alasannya, hadits-hadits lain tidak ada yang menyebutkan duduk
ini.
Bisa jadi,
duduk yang disebutkan oleh Malik ibnul Huwairits radhiyallahu ‘anhu tersebut
dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, di akhir umur beliau tatkala
tubuh beliau sudah berat atau karena sebab lain. Maka dari itu, ada kelompok
ketiga yang berpendapat bahwa duduk ini disyariatkan saat ada kebutuhan, dan
tidak disyariatkan apabila tidak tidak dibutuhkan. Namun, yang tampak adalah
duduk ini disunnahkan secara mutlak. Adapun alasan bahwa duduk ini tidak disebutkan
dalam hadits-hadits yang lain tidaklah menunjukkan duduk ini tidak ada. Yang
memperkuat pendapat ini adalah:
1. Hukum
asal dari perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, adalah beliau
melakukannya untuk ditiru oleh umatnya.
2. Duduk
ini disebutkan oleh hadits Abu Humaid as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu yang
diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad yang jayyid (bagus).
Abu Humaid radhiyallahu ‘anhumenjelaskan tata cara shalat Nabi n di
tengah-tengah sepuluh orang sahabat, dan mereka membenarkannya. (Fatawa
al-Lajnah ad-Daimah 6/447—448, Ketua: asy- Syaikh Ibnu Baz, Wakil: Abdurrazzaq
Afifi, dan Anggota: Abdullah bin Ghudayyan) Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis
oleh Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq al-Atsari
Artikel
Terbaru
Hamba-hamba Ar-Rahman
Apakah Rezeki & Jodoh Sudah Tercatat?
Rumahmu Tetap Istanamu
Mengajari Anak Mencintai Pemerintah Muslim
Keistimewaan Pernikahan
Komentar
Posting Komentar